Principal
Aksesibilitas Peradilan Bagi Penyandang Disabilitas
Aksesibilitas Peradilan Bagi Penyandang Disabilitas
Puguh Windrawan (editor)
0 /
0
Quanto Você gostou deste livro?
Qual é a qualidade do ficheiro descarregado?
Descarregue o livro para avaliar a sua qualidade
De que qualidade são os ficheiros descarregados?
Ano:
2015
Edição:
Pertama
Editora:
PUSHAM-UII Yogyakarta
Idioma:
indonesian
Páginas:
178
Arquivo:
PDF, 903 KB
Os seus tags:
Descargar (pdf, 903 KB)
- Abrir no navegador
- Checking other formats...
- Converter para EPUB
- Converter para FB2
- Converter para MOBI
- Converter para TXT
- Converter para RTF
- O arquivo convertido pode ser diferente do original. se for possível, é melhor descarregar no formato original.
O arquivo será enviado para o email durante 1-5 minutos.
O arquivo será enviado para o Kindle durante 1-5 minutos.
Nota: Você precisa verificar cada livro que envia para o Kindle. Verifique sua caixa de e-mail para um e-mail de confirmação do Amazon Kindle Support.
Nota: Você precisa verificar cada livro que envia para o Kindle. Verifique sua caixa de e-mail para um e-mail de confirmação do Amazon Kindle Support.
Conversion to is in progress
Conversion to is failed
Você pode estar interessado em Powered by Rec2Me
Frases chave
yang918
dan697
dengan439
tidak341
untuk297
ini284
hak276
atau268
hukum267
dalam237
pada197
harus191
korban186
adalah147
manusia142
hambatan141
dari137
ada129
oleh126
bisa126
juga126
dapat125
saksi122
orang122
bagi119
proses117
bahasa108
jika106
sebagai105
terdakwa104
hak asasi103
menjadi103
hal101
peradilan101
akan100
tersebut94
wajib93
negara88
secara84
memiliki84
mereka84
maka83
penyidik79
bahwa78
kepada76
pidana76
tentang73
atas73
maupun71
umum65
Listas de livros relacionadas
0 comments
Você pode deixar uma resenha sobre o livro e compartilhar sua experiência, outros leitores ficarão interessados em saber sua opinião sobre os livros que você leu. Independentemente de você gostar ou não, a contar honestamente e detalhado, ajuda as pessoas encontrar livros novos para si mesmas que as interessem.
1
|
2
|
Aksesibilitas Peradilan Bagi Penyandang Disabilitas i Katalog Dalam Terbitan Puguh Windrawan (editor), Aksesibilitas Peradilan Bagi Penyandang Disabilitas Yogyakarta: PUSHAM UII, 2015 15 cm x 21,5 cm xx + 178 hlm ISBN : 1. Aksesibilitas Peradilan Bagi Penyandang Disabilitas I. Judul Proof Reader : Kelik Sugiarto Desain Sampul : Andi Pensil Terbang Tata Letak : Abrar Cetakan Pertama, April 2015 Penerbit Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta Jeruklegi RT. 13/ RW. 35 Gg. Bakung No. 517A, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta Telp./ fax. (0274) 452032/ 452158 Email: pushamuii@yahoo.com Website: www.pusham.uii.ac.id Bekerjasama Dengan Australia Indonesia Partnership for Justice ii Aksesibilitas Peradilan Bagi Penyandang Disabilitas Hari Kurniawan Mohammad Joni Yulianto Mohammad Syafi’ie G. Sri Nur Hartanto Mahrus Ali Eko Riyadi iii iv Sambutan Direktur PUSHAM UII Proses yang Menghargai Prinsip “nothing about us without us”. Puji syukur ke hadirat Allah swt., akhirnya buku ini dapat diterbitkan dan saat ini berada di tangan pembaca yang budiman. Buku ini ditulis didasari oleh banyaknya kasus dimana penyandang disabilitas tidak mendapatkan perlakuan dan layanan yang adil pada proses peradilan. Penyandang disabilitas sangat kesulitan untuk berproses di pengadilan. Kesulitan itu berkait dengan sarana fisik yang sangat tidak aksesibel serta jaminan prosedur hukum yang tidak ramah terhadap mereka. Sarana prasarana fisik dibangun dan didesain hanya untuk orang-orang kebanyakan, tanpa mempertimbangkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Jaminan normatif prosedur hukum juga masih ditafsirkan secara tekstual, sehingga menghalangi penyandang disabilitas untuk mengaksesnya. Hal ini ditambah dengan perilaku aparat penegak hukum yang tidak ramah terhadap mereka. Banyak penyandang disabilitas yang mengalami menjadi korban berkali kali, atau secondary victimization. Sudah jadi korban kekerasan seksual, tetapi masih harus menceritakan pengalaman pahitnya berkalikali, bahk; an tidak sedikit yang laporan dan keterangannya v tidak dipercaya. Bahwa proses penegakan hukum harus cermat (prudence) dengan menghindari kesalahan sesedikit mungkin adalah hal yang wajib. Namun memperlakukan seorang perempuan penyandang disabilitas intelektual yang menjadi korban perkosaan dengan cara yang sama dengan korban penjambretan adalah tindakan yang kurang tepat. Berangkat dari berbagai kasus dan pengalaman itulah buku ini ditulis. Pada proses penulisan buku ini, salah satu isu yang sangat hangat diperdebatkan adalah mengenai istilah. Beberapa pihak mengusulkan istilah difabel (yang merupakan akronim dari different ability) untuk menjadi judulnya. Alasannya sangat rasional dan baik. Istilah tersebut dianggap lebih manusiawi dan bernada positif dibandingkan dengan istilah penyandang disabilitas. Istilah disabilitas sesungguhnya masih diperdebatkan karena secara etimologis, istilah tersebut tetap saja berarti “ketidak (dis) mampuan (ability)”. Namun demikian, pada ahirnya kami bersepakat untuk menggunakan istilah yang secara internasional dan nasional telah dianggap sebagai istilah resmi, yaitu person with disabilites atau penyandang disabilitas. Proses penyusunan buku ini dilakukan selama 2 tahun. Dimulai dengan penelitian di Surakarta, Yogyakarta dan Makasar, serta dilanjutkan dengan workshop dan penulisan buku. Naskah buku ini telah didiskusikan berkali-kali dengan harapan mendapatkan masukan serta legitimasi teoritis dan praksis dari berbagai kalangan. Pada prosesnya, kami selalu mengajak teman-teman penyandang disabilitas untuk vi memastikan bahwa buku ini benar secara paradigmatik serta benar secara praksis. Di sinilah kami belajar banyak untuk “mencoba” mengerti dan memahami paradigma serta kebutuhan temanteman penyandang disabilitas pada proses peradilan. Kami mengundang berbagai organisasi penyandang disabilitas untuk terlibat agar semangat pergerakan mereka menjadi ruh bagi keseluruhan naskah buku ini. Kami juga mengundang hakim, jaksa dan polisi untuk mendiskusikan konsep yang kami tawarkan. Harapannya, buku yang ditulis ini sesuai dengan kebutuhan praktis aparat penegak hukum. Pada konteks ini, saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi selama proses penulisan buku ini. Secara paradigmatik, kami menggunakan pendekatan social (social model) sebagai basis metodologis penulisan buku ini. Sejauh ini, sebagian besar buku yang berbicara mengenai disabilitas masih menggunakan pendekatan medis (medical model). Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pendekatan medis memahami disabilitas dengan mengenali problem medis apa yang dihadapi oleh tubuh si penyandang disabilitas. Kerusakan fungsi tubuh seperti apa yang terjadi. Kemudian tindakan yang akan dilakukan juga berdasarkan asumsi medis tersebut. vii Pendekatan sosial berbeda. Ia memahami disabilitas karena adanya hambatan yang ada di luar tubuh penyandang disabilitas. Hal itulah yang mempengaruhi interaksinya dengan yang lain. Hambatan itulah yang menyebabkan interaksi penyandang disabilitas dengan sesuatu atau seseorang menjadi terganggu. Jika pendekatan medis berupaya mengobati fungsi fisik agar normal kembali, maka pendekatan sosial mengusulkan, bukan memulihkan kerusakan, namun menghilangkan hambatan dengan memberikan layanan yang aksesibel. Dengan begitu, penyandang disabilitas akan dapat berinteraksi dengan apapun dan siapapun tanpa harus memperdebatkan mengenai kerusakan fungsi tubuh yang dialami. Di dalam buku ini, kami merumuskan ada 5 (lima) jenis hambatan yang selama ini dihadapi oleh penyandang disabilitas; yaitu (1) hambatan sarana parasarana fisik dan mobilitas, (2) hambatan perilaku, (3) hambatan hukum dan prosedurnya, (4) hambatan teknologi, informasi dan komunikasi, dan (5) hambatan sumber daya. Sebagai Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia, saya mengucapkan terimakasih kepada Australia-Indonesia Partnership for Justice yang telah mendukung proses penulisan buku ini. Kepada penulis antara lain; M. Syafi’ie, Mahrus Ali, Hari Kurniawan, M. Joni Yulianto, G. Nur Hartanto, saya mengucapkan selamat atas kontribusinya dalam memperbaiki peradaban hukum di Indonesia. Karya Anda akan menjadi sejarah yang dirujuk oleh generasi saat ini dan generasi-generasi viii yang akan datang. Kepada semua teman yang terlibat pada proses penulisan buku ini antara lain Puguh Windrawan, Arini Robbi Izzati dan teman-teman PUSHAM UII, terimakasih atas dedikasinya hingga buku ini dapat dibaca khalayak umum. Semoga kerja keras ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat seluas-luasnya. Eko Riyadi, S.H., M.H. Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia ix x Kata Sambutan Tim Leader AIPJ Kemitraan Demi Terpenuhinya Hak Penyandang Disabilitas Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) adalah kerjasama bilateral antara pemerintah Australia dan Indonesia untuk jangka waktu 2011-2016. Aktifitasnya berkaitan dengan berbagai institusi, baik pada level nasional maupun lokal, dengan masyarakat sipil dan mitra Australia, memfasilitasi pertukaran sejawat dan mempromosikan perubahan yang dapat meningkatkan keadilan bagi semua warga Indonesia. Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) adalah salah satu mitra yang berkontribusi pada AIPJ. Penyandang disabilitas, secara global maupun di Indonesia, mengalami diskriminasi dan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia. Dikarenakan disabilitasnya, mereka menghadapi hambatan yang menghalangi mereka untuk mendapatkan akses dan manfaat layanan yang fair dan setara. Hal ini termasuk layanan akses peradilan. Kurangnya pengalaman, pengetahuan dan kesadaran aparat penegak hukum dan staf pengadilan kepada penyandang disabilitas, dan hambatan fisik dan komunikasi sering menghalangi penyandang disabilitas untuk mendapatkan proses peradilan yang fair dan memadai. xi Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Penyandang Disabilitas pada tahun 2011. Ratifikasi membantu menciptakan minat dan memperkuat komitmen sebuah negara dan masyarakat sipil untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak penyandang disabilitas. Sebagaimana penguatan demokrasi Indonesia, pengadilan dan aparat penegak hukumnya juga berada pada masa transisi untuk mengambil peran perlindungan, memastikan keadilan bagi semua, khususnya bagi mereka yang masuk kategori kelompok rentan. Buku ini adalah kontribusi penting yang akan membantu para hakim, jaksa, penasehat hukum dan polisi untuk mempelajari kebutuhan orang dengan disabilitas dan mengelola prosedur hukum bagi penyandang disabilitas di Indonesia secara lebih fair. Craig Ewers Tim Leader Australia-Indonesia Partnership for Justice xii KATA PENGANTAR Proses Peradilan Harus Menjamin Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si. (Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia) Ketika saya menulis kata pengantar ini, saya teringat sebuah perdebatan tahun 90-an tentang hak-hak orang-orang yang secara fisik maupun mental berbeda dengan orang kebanyakan, yang pada waktu itu dikenal sebagai “orang cacat”. Perdebatan itu bermula dari kegundahan makna “orang cacat” sebagai sebutan yang sangat tidak manusiawi dan merendahkan. Istilah tersebut sangat dekat dengan makna kerusakan, ketidakgunaan, ketidak sempurnaan dan lain-lain yang kesemuanya berkonotasi negatif. Debat filsafat sosial, semiotik, hokum dilakukan dan ahirnya berakhir dengan diusulkannya istilah baru yang lebih humanis yaitu difabel sebagai akronim dari differently able (orang dengan kemampuan berbeda). Di Indonesia, perdebatan tentang difabel rada fakum sejak saat itu. Perdebatan menjadi ramai kembali pasa diadopsinya United Nation Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD) pada 13 Desember 2006. Gerakan xiii advokasi hak-hak difabel kembali membesar dan akhirnya pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Ratifikasi adalah tindakan hkum pemerintah (mewakili negara Indonesia) yang memiliki konsekuensi hukum. Ratifikasi bukan sekedar tanda tangan, tetapi sesuai dengan asas perjanjian mengikat para pihak yang menandatanganinya (pacta sunt servanda). Oleh karenanya, pemerintah Indonesia berkewajiban memenuhi seluruh prestasi yang diamanahkan oleh konvensi. Salah satu prestasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia adalah dalam bidang hukum dan penegakannya. Pada pokoknya , UN C RPD menekankan bahwa penyandang disabilitas harus diposisikan sebagai manusia yang utuh, setara dalam hak dengan manusia pada umumnya. Penyandang disabilitas tidak boleh dilihat sebagai manusia kelas dua yang hak-haknya boleh didiskriminasi. Begitu juga pada konteks hukum, penyandang disabilitas harus diposisikan sebagai subjek hukum yang utuh sesuai dengan asas equality befor the law. Sesuai Pasal 12 UNCRPD, negara harus memastikan bahwa penyandang disabilitas wajib diperlakukan sebagai subjek hukum yang setara dan bebas mengakses seluruh pelayanan hukum yang diperlukan. Kesetaraan hak mereka menyangkut hak sipil politik seperti hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk tidak disiksa, hak untuk berorganisasi, dan juga hak ekonomi, sosial dan budaya; seperti hak atas pendidikan, kesehatan dan xiv hak atas properti, serta perlindungan atas properti miliknya. Pada aspek penegakan hukum, penyandang disabilitas juga berhak atas proses peradilan yang fair. Hal ini sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 14 International Covenant on Civil and Political Rights. Pasal ini berisi jaminan prosedural (procedural guarantee) agar peradilan berjalan dengan baik dan fair. Beberapa kekhususan yang harus diperhatikan pada proses peradilan bagi penyandang disabilitas adalah kebutuhan ketersediaan layanan peradilan yang berbeda dengan orang kebanyakan. Ketersediaan layanan ini berkaitan dengan dua hal, yaitu aksesibilitas fisik dan aksesibilitas prosedural. Aksesibilitas fisik berkaitan dengan kewajiban peradilan untuk memastikan bahwa sarana fisik seperti gedung pengadilan, ruang sidang, berkas acara pemeriksaan, surat dakwaan maupun tuntutan, aksesibel bagi penyandang disabilitas. Gedung bertingkat dengan lantai berundak yang tajam, pastilah menyulitkan pengguna kursi roda untuk mengakses peradilan. Berkas dakwaan dan tuntutan dalam bentuk hard copy pasti akan menyulitkan bagi penyandang disabilitas netra untuk membacanya. Debat persidangan yang berbahasa rumit pasti akan menyulitkan penyandang disabilitas intelektual untuk memahami dakwaan atau tuntutan bagi mereka. Aksesibilitas prosedural berkaitan dengan hukum acara yang pada beberapa hal masih mengganggu akses penyandang disabilitas. Ambil contoh, ketentuan mengenai saksi. Saksi yang dimaknai secara “kaku” hanya orang yang melihat dan xv mendengar sendiri, pasti akan sangat sulit dipenuhi bagi penyandang disabilitas netra dan seorang tuli. Pada konteks tersebut, saya mengapreasi tinggi terhadap apa yang dilakukan oleh teman-teman Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) yang telah berusaha menghadirkan buku sebagai pedoman layanan peradilan bagi penyandang disabilitas. Buku ini sangat menarik, bukan hanya karena kebaruan materinya, tetapi juga karena isinya yang praktis. Ini dapat dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum untuk memeriksa dan mengadili kasus-kasus yang melibatkan penyandang disabilitas. xvi DAFTAR ISI Sambutan Direktur PUSHAM UII .... v Kata Sambutan Tim Leader AIPJ .... xi Kata Pengantar .... xiii Daftar Isi .... xvii BAB I MENGURAI CARA PANDANG BARU BAGI PENEGAK HUKUM .... 1 A. Latar Belakang .... 1 B. Substansi Buku .... 9 C. Kerangka Berfikir .... 10 D. Tawaran Perspektif bagi Penegak Hukum .... 14 E. Metode Penulisan Buku .... 15 BAB II HAK ASASI MANUSIA DAN PENYANDANG DISABILITAS .... 17 A. Prinsip dan Norma Hak Asasi Manusia .... 17 1. Definisi dan Filosofi Hak Asasi Manusia .... 17 2. Prinsip Hak Asasi Manusia .... 20 3. Kewajiban Negara dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia .... 25 B. Pengaruh Konsep Hak Asasi Manusia Terhadap Konsep Disabilitas .... 28 xvii C. Prinsip-Prinsip Peradilan yang Fair dan Hubungannya dengan Hak Penyandang Disabilitas .... 33 1. Semua Orang Berhak untuk Diperlakukan Sama di Muka Pengadilan .... 34 2. Semua Orang Berhak untuk Didengar Keterangannya di Muka Pengadilan .... 36 3. Semua Orang yang Dituduh Melakukan Kejahatan Berhak Mendapatkan Jaminan Perlindungan Minimal .... 37 BAB III PENDEKATAN SOSIAL DALAM MEMAHAMI DISABILITAS .... 51 A. Memahami Disabilitas dengan Pendekatan Sosial .... 51 B. Implikasi Penggunaan Pendekatan Sosial terhadap Klasifikasi Disabilitas .... 58 C. Kategori Hambatan .... 60 1. Hambatan Sarana Prasarana Fisik dan Mobilitas .... 61 2. Hambatan Perilaku .... 62 3. Hambatan Hukum dan Prosedurnya .... 62 4. Hambatan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi .... 63 5. Hambatan Sumber Daya .... 63 D. Prinsip Berinteraksi .... 65 E. Etiket Berinteraksi .... 68 xviii BAB IV APLIKASI “KATEGORI HAMBATAN” TERHADAP PEMENUHAN HAK ATAS PERADILAN YANG FAIR BAGI PENYANDANG DISABILITAS DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ....79 A. Hambatan Sarana Prasarana Fisik dan Mobilitas .... 81 1. Tahap Penyidikan .... 82 2. Tahap Penuntutan .... 86 3. Tahap Pemeriksaan di Persidangan .... 91 B. Hambatan Perilaku .... 96 1. Tahap Penyidikan .... 96 2. Tahap Penuntutan .... 101 3. Tahap Persidangan .... 104 C. Hambatan Hukum dan Prosedurnya .... 109 1. Tahap Penyidikan .... 109 2. Tahap Penuntutan .... 118 3. Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan .... 120 D. Hambatan Sumberdaya .... 127 1. Tahap Penyidikan .... 127 2. Tahap Penuntutan .... 129 3. Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan .... 130 E. Hambatan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi .... 134 1. Tahap Penyidikan .... 134 2. Tahap Penuntutan .... 138 3. Tahap Pemeriksaan di Persidangan ....140 xix PANDUAN UMUM AKSESIBILITAS PERADILAN .... 143 Pengantar Cara Membaca .... 143 Hambatan Aksesibilitas Fisik .... 145 Hambatan Aksesibilitas Non Fisik .... 151 Hambatan Prosedural Beracara .... 156 Glosarium .... 169 Referensi ....171 Daftar Penulis .... 176 Profil Pusham UII ....177 xx xxi xxii Bab I Mengurai Cara Pandang Baru Bagi Penegak Hukum A. Latar Belakang Kasus penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum semakin meningkat. Beberapa tahun terakhir, kasuskasusnya bahkan ramai diperbincangkan. Persoalannya terletak pada cara pandang aparat penegak hukum. Saat penyandang disabilitas berstatus sebagai korban, saksi, maupun pelaku, hakhaknya banyak yang tercerabut. Dukungan sistem peradilan sangat minim. Dengan kata lain, saat berhadapan dengan hukum, penyandang disabilitas menjadi terdiskriminasikan.1 Pengertian penyandang disabilitas dapat dicermati dalam Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau Convention on the Rights of Person with Disabilities (CRPD). Diskriminasi atas dasar disabilitas berarti pembedaan, eksklusi, atau pembatasan apapun atas dasar disabilitas. Berdampak pada perusakan atau penghapusan terhadap pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar dalam hal politik, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya, berdasarkan kesetaraan dengan orang lain. Hal ini termasuk segala bentuk diskriminasi, termasuk penyangkalan atas akomodasi yang layak. Lihat Pasal 2 Convention on the Rights of Person with Disabilities (CRPD). 1 1 Dalam konvensi tersebut, penyandang disabilitas diartikan sebagai mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang. Interaksinya dipenuhi dengan berbagai hambatan yang dapat merintangi partisipasi mereka saat berbaur dengan masyarakat.2 Penyandang disabilitas pasti akan beragam, bergantung pada jenis disabilitasnya. Mereka membutuhkan sarana prasarana serta proses komunikasi yang berbeda-beda sesuai dengan hambatan-hambatan yang terjadi.3 Permasalahan lain yang seringkali ditemui adalah soal pengetahuan. Para penegak hukum belum memahami siapa itu penyandang disabilitas. Apa rintangan-rintangan yang dihadapi dan apa kebutuhannya ketika berproses di peradilan. Kondisi ini diperumit dengan norma hukum yang belum berpihak kepada penyandang disabilitas. Lembaga peradilan di Indonesia juga belum memiliki mekanisme khusus, seperti halnya penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.4 2 Sebutan yang lebih familiar dan dianggap lebih manusiawi di Indonesia ialah difabel (differently able), yaitu orang-orang yang terklasifikasi memiliki kemampuan berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Baca Architecture for Diferently Abled, liputan khusus Majalah Sketsa: Majalah Arsitektur Tarumanegara, Edisi 24, hlm. 38 3 Menurut International Classification of Functioning (ICF), seseorang dikatakan mengalami disabilitas apabila orang tersebut memiliki body disfunction, activity limitation dan participation restriction. Karena itu, faktor personal dan faktor lingkungan ikut menentukan apakah kondisi seseorang mengalami disabilitas ataukah tidak. Baca di http://www.who.int/classifications/icf/icf_more/en/. Diunduh pada 5 Januari 2015. 4 Baca Laporan Penelitian Identifikasi Kebutuhan Hukum Dalam Rangka Pemenuhan Hak Difabilitas (Studi Kasus Putusan Pengadilan Surakarta No. 50/Pid. Sus/2013/PN.SKA.), Pusham UII, 2013 2 Sebut saja namanya Bunga. Ia seorang anak perempuan dan menjadi korban pencabulan dan pemerkosaan. Bunga adalah seorang tuli dan penyandang disabilitas intelektual. Ketika terjadi tindak pidana pemerkosaan, umur kalender Bunga adalah 22 tahun. Meski demikian, karena ia mengalami disabilitas intelektual, maka umur Bunga setara dengan anak usia 9 tahun 2 bulan. Pada hakikatnya, ia adalah anak-anak dan semestinya berhak atas proses hukum yang terkait dengan peradilan anak. Dalam praktiknya, baik itu polisi, jaksa, dan hakim menolak menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak. Mereka juga tidak melakukan assessment ahli. Proses komunikasi, terutama dalam proses penyidikan, cenderung mengabaikan sisi psikologis Bunga sebagai korban. Dampaknya, Bunga mengalami trauma, ketakutan, dan depresi. Berkaca dari contoh kasus di atas, pengetahuan penegak hukum terkait disabilitas tergambar dalam beberapa fakta berikut.5 Pertama, dalam kasus pidana, seorang tuli yang menjadi korban pemerkosaan kerap disudutkan oleh pertanyaanpertanyaan penegak hukum. Misalnya dengan pertanyaan, 5 M. Syafi’ie, Purwanti dan Mahrus Ali, Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara (Yogyakarta: SIGAB, 2014), hlm. 105-126. 3 “Mengapa tidak berteriak ketika akan diperkosa?” Penegak hukum mestinya tahu bahwa seorang tuli mengalami kesulitan untuk berteriak. Kedua, seorang penyandang disabilitas netra kerap tidak diproses laporan pidananya oleh penegak hukum. Contohnya dalam kasus pemerkosaan. Alasannya, korban dianggap tidak bisa melihat pelaku pemerkosaan. Seharusnya penegak hukum memahami jika penyandang disabilitas netra mengalami kesulitan melihat. Tak jarang, beberapa dari mereka bahkan sama sekali tidak bisa melihat secara total. Ketiga, seorang tuli yang kasusnya diproses di peradilan, penyidik seringkali tidak terlibat dalam proses tanya jawab, dan menyerahkan sepenuhnya kepada penerjemah. Dalam situasi ini, penegak hukum mestinya paham bahwa juru bahasa hanya fasilitator. Ia tidak bisa menggantikan tugas penyidikan. Keempat, penegak hukum kerap merendahkan martabat penyandang disabilitas. Kemampuan dan kecakapan hukumnya seringkali dipermasalahkan. Harus ada pengetahuan baru bagi para penegak hukum. Penyandang disabilitas adalah pribadi yang memiliki kemampuan dan cara yang berbeda dalam menjelaskan sesuatu. Di samping pengetahuan, ternyata norma hukum juga masih menyisakan masalah yang perlu untuk dipecahkan. Ada beberapa norma hukum yang perlu dicermati dan dikritisi bersama. 4 “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. (Pasal 1 angka 26 KUHAP) Norma ini menegaskan tentang definisi saksi dan perannya untuk memberikan kesaksian suatu tindak pidana. Bagaimana jika pasal ini diterapkan pada penyandang disabilitas netra? Bisa dipastikan, ia akan mengalami kerugian. Kesaksiannya tidak akan bisa menjadi dasar pertimbangan yang kuat dan akhirnya tidak akan diterima. Pertanyaannya adalah, bagaimana apabila seorang penyandang disabilitas netra menjadi korban pemerkosaan dan pencurian? Sudah barang tentu, kesaksiannya akan gugur dalam tahap penyidikan. “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.” (Buku 1 KUHPerdata Pasal 433) 5 Pada Pasal 1320 KUHPerdata juga menyatakan bahwa salah satu syarat sah suatu perjanjian adalah seorang yang cakap hukum, dan yang dikualifikasi cakap hukum adalah setiap orang yang dewasa dan sehat pikirannya. Dengan ketentuan pasal tersebut, banyak penyandang disabilitas ditolak untuk menjadi pihak dalam perjanjian perbankan dan perjanjian asuransi. Mereka juga tidak mendapatkan hak waris. Beberapa bahkan tidak bisa menikah, terutama bagi penyandang disabilitas intelektual dengan alasan belum cukup umur. Ini artinya, penyandang disabilitas dianggap sebagai sosok yang tidak cakap hukum. Sebuah bentuk diskriminasi yang harus dihilangkan sesegera mungkin. Harus diakui, bahwa rujukan penegak hukum ketika melakukan proses terhadap penyandang disabilitas masih memakai KUHAP dan KUHPerdata. Pasal-pasal di atas menjadi alasan untuk menggugurkan kemampuan penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum. Padahal, Indonesia saat ini telah meratifikasi Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Jika keberadaan konvensi ini tidak diindahkan, maka sudah barang tentu penyandang disabilitas menjadi sosok yang terpinggirkan. Tanpa ada proses pendampingan dan bantuan hukum yang serius, rasanya sangat mustahil mereka 6 mendapatkan keadilan dalam proses hukum.6 Banyak sikap yang salah terkait dengan penyandang disabilitas. Penegak hukum dan norma hukum masih memperlakukannya sebagai kumpulan orang yang tidak mampu, tidak normal, di bawah pengampuan dan tidak cakap hukum. Secara otomatis, penyandang disabilitas seolah menjadi korban dari proses peradilan. Berikut beberapa potret penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum.7 Jenis Disabilitas Penyandang disabilitas intelektual dan layu 1 tangan Penyandang disabilitas intelektual Tindak Pelaku Pidana Perkosaan Paman sendiri Proses Hukum Perkara berhenti di tingkat kepolisian karena ada intervensi dari perangkat desa dengan mekanisme penyelesaian kekeluargaan. Perkosaan Tetangga Perkara berhenti di dekat tingkat kepolisian karena korban tidak dapat bersaksi karena mengalami hambatan dan kesulitan komunikasi. Ibid., hlm. 133-142. Anggun Malinda, Ekha Nurfitriana & M. Yasin Al-Arif, “Menggagas Bantuan Hukum Terhadap Kaum Difabel Korban Tindak Pidana; Upaya Mewujudkan Access to Justice“, Ringkasan Hasil Penelitian Lomba Karya Tulis Mahasiswa Nasional Piala Bergilir Mahkamah Agung Pekan Hukum Nasional 2013 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (PHN UNS) 2013, hlm. 9. 6 7 7 Penyandang disabilitas intelektual Lambat Belajar (Slow learner) Penyandang disabilitas netra Seorang Tuli Paraplegia Perkosaan Kakak sendiri Pelaku dibebaskan karena korban tidak mengalami trauma. Perkosaan Tetangga Perkara tidak dapat diproses dan berhenti di tingkat kepolisian karena saksinya adalah seorang lambat belajar (slow learner) juga. Perkosaan Pasien Perkara berhenti pada pijat tingkat kepolisian karena kekurangan alat bukti. Perkosaan Orang Berhenti karena terdekat kekurangan alat bukti dan kesulitan memahami bahasa korban. KDRT Suami Berhenti di tingkat kepolisian karena paksaan dari keluarga untuk mencabut perkara tersebut. Melihat ketidakadilan yang dihadapi penyandang disabilitas, pemerintah kemudian melakukan ratifikasi terhadap CRPD. Bentuk ratifikasi tersebut adalah munculnya UU No. 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention on the Rights of Person with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Konvensi ini menegaskan bahwa penyandang disabilitas bukanlah orang-orang yang tidak normal dan tidak mampu. Penyandang disabilitas adalah manusia 8 yang sama dan setara dengan manusia pada umumnya. Sudah semestinya diperlakukan sebagai individu yang utuh, dihormati atas martabatnya yang melekat sebagai manusia. Hambatan terbesar yang dihadapi penyandang disabilitas di pengadilan adalah soal aksesibilitas dan akomodasi. Hambatan ini sesegera mungkin harus dicarikan jalan keluarnya.8 Di lain sisi, harus ada harmonisasi substansi CRPD dengan norma hukum yang ada di Indonesia. Dengan begitu, norma hukum itu menjadi rujukan yang pasti bagi penegak hukum. Termasuk juga mendorong mereka untuk mengerti dan memahami bagaimana menangani penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Karena itu, tepat sekali menulis sebuah buku yang mengulas konsepsi hak asasi manusia dan penyandang disabilitas. Buku yang akan berisikan hak-hak mereka dalam proses peradilan serta menjadi panduan bagi penegak hukum ketika menangani perkara hukum penyandang disabilitas. B. Substansi Buku Buku ini ditulis untuk tiga tujuan, yaitu: Pertama, akan menjawab persoalan situasi dan kondisi penyandang disabilitas yang kerap terlanggar hak-haknya pada proses peradilan. Kedua, buku ini akan menguraikan tentang prinsip dan norma hak asasi manusia. Di dalamnya akan diuraikan 8 Lihat Preambule huruf n, Pasal 1 ,3 dan 12 dan 13 CRPD. 9 pembahasan mengenai norma hak asasi manusia, prinsip peradilan yang adil dan konsep kewajiban negara. Ketiga, buku ini akan menguraikan pendekatan sosial dalam memaknai penyandang disabilitas. Pendekatan sosial yang akan diterapkan dalam proses peradilan yang adil, dan prinsip berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Buku ini juga akan mengulas hambatan apa saja yang dialami penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum. C. Kerangka Berfikir Buku ini ditulis dengan keinginan untuk meletakkan hukum sebagai model yang terbuka, sekaligus mampu merespon perkembangan hak asasi manusia. Hukum tidak hanya dimaknai sebagai norma semata. Penegakan hukumnya juga tidak statis. Harapannya, proses hukum menjadi fasilitas terhadap kepentingan dan kebutuhan manusia ketika berhadapan dengan hukum. Sebagaimana kita ketahui, cara pandang sosial masyarakat, termasuk para penegak hukum masih meletakkan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang lemah. Tidak mampu dan tidak normal. Menurut Mansour Fakih, sebutan normal dan ataupun cacat yang dilekatkan kepada penyandang disabilitas adalah hasil dari konstruksi sosial. Semata-mata menyalahkan pribadi penyandang disabilitas. Istilah penyandang cacat memiliki makna ideologis yang berarti ketidakmampuan, invalid, dalam arti tidak normal atau tidak menjadi manusia 10 seutuhnya dan sepenuhnya.9 Ketidakmampuan hanya dibebankan kepada penyandang disabilitas. Tidak melihat faktor lingkungan yang menjadi pendukung mengapa hambatan itu bisa terjadi. Kesalahan cara pandang ini semakin parah karena ternyata kesalahan ini juga diperagakan oleh keluarga, masyarakat, dan negara.10 Kesalahan cara pandang ini harus dihentikan. Penulisan buku ini adalah salah satu upaya dalam menghilangkan kesalahan cara pandang tersebut. Sebagaimana yang sudah disinggung, penegakan hukum yang melibatkan penyandang disabilitas masih menyisakan masalah. Hak-hak penyandang disabilitas belum sepenuhnya dijamin oleh penegak hukum. Akibatnya, proses hukum yang terjadi kerap berujung pada fakta pelanggaran hak atas peradilan yang adil. Potret peradilan yang tidak adil merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, hak asasi manusia bersifat universal. Ia dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap manusia, apapun warna kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang budaya, agama atau kepercayaannya. Hak asasi manusia melekat, dikarenakan dimiliki setiap manusia, semata-mata karena keberadaannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian 9 Mansour Fakih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm 306-307. 10 Ibid., hlm 311-314. 11 dari suatu organisasi kekuasaan manapun.11 Selama ini, dalam proses peradilan yang telah berjalan, penyandang disabilitas seolah tersudutkan. Proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan kerap tidak melalui assessement ahli. Belum lagi tidak tersedianya juru bahasa yang tepat. Persoalan lain adalah sarana dan prasarana di pengadilan tidak bisa diakses oleh penyandang disabilitas. Dalam konteks hak asasi manusia, pemenuhan sarana prasarana yang aksesibel dan pemenuhan proses peradilan yang adil adalah tanggungjawab negara.12 Salah satu yang wajib dipenuhi ialah adanya mekanisme khusus. Jika negara tidak bertanggungjawab, maka negara telah dianggap melakukan pelanggaran hak asasi manusia. 13 Praktik pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum harus diakhiri. Negara mesti menghilangkan hambatan-hambatan eksternal yang berakibat pada diskriminasi. Baik itu hambatan sarana prasarana fisik dan mobilitas, hambatan hukum 11 Soetandyo Wignjosoebroto, “Hak-Hak Asasi Manusia: Konsep Dasar dan Pengertiannya yang Klasik pada Masa-Masa Awal Perkembangannya,” dalam Toleransi dan Keragaman: Visi untuk Abad ke-21, Kumpulan Tulisan tentang Hak Asasi Manusia (Surabaya: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Surabaya dan The Asia Foundation, 2003), hlm. 4 12 Kewajiban negara ada tiga bentuk, pertama, tanggungjawab untuk melindungi (obligation to protect). Kedua, tanggungjawab untuk menghormati (obligation to respect). dan Ketiga, tanggungjawab untuk memenuhi (obligation to fulfill). Lihat Muhammad Syafari Firdaus, dkk, Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: Sebuah Panduan (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007), hlm. 7. 13 Dalam Prinsip-Prinsip Limburg pada Paragraf 70 disebutkan “Suatu kegagalan oleh Negara Peserta untuk memenuhi suatu kewajiban yang tercantum dalam Kovenan, berdasarkan hukum internasional, adalah suatu pelanggaran terhadap Kovenan.” 12 dan prosedurnya, hambatan sumber daya, serta hambatan teknologi, informasi, dan komunikasi. Negara juga diharapkan memperbaiki perilaku penegak hukum. Pasalnya, di pundak merekalah pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sebenarnya bisa ditambatkan. Demi menghindari pelanggaran hak asasi manusia, penegak hukum bisa menggunakan pendekatan hukum progresif. Inti hukum progresif ialah keberadaan hukum sematamata untuk manusia. Satjipto Rahardjo mengatakan, hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Keberadaan hukum tidak ada untuk dirinya melainkan untuk sesuatu yang luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia.14 Pemikiran Satjipto Rahardjo mempertegas keniscayaan tentang posisi hukum. Keberadaan hukum memiliki tujuan yang sangat mendasar, yaitu untuk melindungi kepentingan manusia yang luas. Dalam hal ini, harapannya tidak ada lagi kerisauan bahwa hukum bersifat statis, anti perubahan sosial dan tidak responsif pada nilai-nilai hak asasi manusia. Sebab, ketika hukum sudah memastikan tujuannya untuk manusia, maka hukum akan selalu responsif terhadap tantangan dan kebutuhan dasar manusia yang beragam. Dalam hal penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, gagasan Satjipto Rahardjo menjadi sangat relevan untuk dijadikan rujukan cara pandang. Penegak hukum 14 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hlm. 188. 13 tidak sepantasnya menjadi corong undang-undang. Hanya menerapkan pasal tanpa mempertimbangkan konteks dan rintangan yang kompleks. Ia mestinya mengembalikan normanorma hukum pada falsafah dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Manusia menjadi penentu dan titik orientasi dari keberadaan hukum. Keberadaan sistem hukum dan institusi hukum tidak boleh lepas dari kepentingan pengabdiannya, yaitu untuk memanusiakan manusia dalam proses penegakan hukum.15 D. Tawaran Perspektif bagi Penegak Hukum Buku ini mencoba untuk menawarkan perspektif baru bagi para pemangku kepentingan yang bertugas di dunia peradilan. Khususnya bagi para penyidik, para penuntut umum dan para hakim yang menangani secara langsung penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum. Ada beberapa uraian teoritik tentang hak asasi manusia, hak-hak penyandang disabilitas, penjelasan hambatan penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum serta penulisan tentang etiket berinteraksi. Harapannya akan menjadi pengantar sebuah pengetahuan bagi penegak hukum. Ada tata cara bagaimana semestinya para penegak hukum memperlakukan penyandang disabilitas, sesuai dengan standar nilai-nilai hak asasi manusia. 15 Bernard L. Tanya, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 212. 14 Meskipun demikian, buku ini disusun tidak sekedar mengantarkan teori tentang hak asasi manusia. Lebih dari itu, penulisannya didesain praktis. Bisa menjadi panduan bagi para penegak hukum ketika memproses hukum bagi penyandang disabilitas. Substansi penting dari buku ini ialah penjelasan tentang hambatan-hambatan penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum. Terdapat hambatan sarana prasarana dan mobilitas, hambatan perilaku, hambatan hukum dan prosedurnya, hambatan sumber daya serta hambatan teknologi, informasi, dan komunikasi. Dari identifikasi hambatan-hambatan tersebut, penegak hukum diharapkan dapat lebih memahami kebutuhankebutuhan penyandang disabilitas. Sebuah pemahaman yang akan menghantarkan aparat penegak hukum untuk bersikap adil, serta memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan hukum penyandang disabilitas. E. Metode Penulisan Buku Buku ini diawali dengan proses penelitian, workshop, penentuan garis besar isi buku, penentuan penulis, dan penulisan buku. Seluruh substansi buku ini merujuk pada seluruh proses tersebut. Buku ini ditujukan bagi aparat penegak hukum sebagai petunjuk ketika menangani penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum. Aktivis hak asasi manusia juga bisa mempergunakannya sebagai bentuk pendampingan kepada penyandang disabilitas. 15 16 Bab II Hak Asasi Manusia dan Penyandang Disabilitas A. Prinsip dan Norma Hak Asasi Manusia 1. Definisi dan Filosofi Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia. Satu satunya alasan seseorang memiliki hak asasi adalah karena ia manusia. Fokus utamanya adalah pada kehidupan dan martabat manusia. Martabat ini akan terganggu apabila ia menjadi korban pelecehan seksual, penyiksaan, dan perbudakan. Termasuk jika kemudian manusia itu hidup tanpa kecukupan pangan, sandang dan perumahan. Gagasan tentang nilai luhur martabat manusia, yang menjadi inti gagasan hak asasi manusia modern, dapat ditemukan dalam semua teori filsafat dan ajaran agama. Termasuk di dalamnya adalah prinsip kesetaraan. Sebuah prinsip penting dalam hak asasi manusia yang juga mendapatkan pengakuan dalam berbagai ajaran agama. 17 Abdullahi A. An-Na’im menyebut prinsip ini dengan istilah “Prinsip Emas” (Golden Rule). Ruh utamanya adalah adanya prinsip hubungan timbal balik dalam hubungan kemanusiaan (termasuk hubungan antara penguasa dan rakyat). Sebuah tuntunan untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.1 “Seseorang harus memperlakukan orang lain, sama seperti ia ingin diperlakukan oleh orang lain.” Memperlakukan orang lain yang memiliki kesamaan dengan kita adalah hal yang mudah. Tantangan terbesar justru sebaliknya, yaitu saat kita memperlakukan orang yang berbeda dengan diri kita. Perbedaan itu bisa terkait dengan identitas, seperti sejarah asal usul, warna kulit, dan bentuk rambut. Perbedaan lainnya bisa berupa agama, keyakinan, dan pilihan politik. Bisa juga berkaitan dengan hambatan interaksi seseorang, seperti pengguna kursi roda, seorang tuli, netra, dan lainnya. Kepekaan dan kesanggupan memperlakukan orang lain yang berbeda dengan kita menjadi sangat penting. Hal itu akan menjadi sarana bagi kita untuk memahami kebutuhan orang tersebut.2 1 Abdullahi A. An-Na’im, “Shari’a and Basic Human Rights Concerns” dalam Liberal Islam A Sourcebook (New York: Oxford University Press, 1998), hlm. 223. Juga bisa dibaca dalam Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and Internasional Law, diterjemahkan oleh Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, Dekonstruksi Syari’ah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 268. 2 Ibid. 18 Ditilik dari sejarah, banyak kalangan yang beranggapan bahwa akar filosofis munculnya gagasan hak asasi manusia adalah teori hak kodrati (natural rights theory). Dikembangkan oleh para pemikir Abad Pencerahan di Eropa. Tokohnya antara lain; John Locke, Thomas Paine, dan Jean Jaques Rousseau. Intisari teori hak kodrati adalah pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam, hak-hak yang melekat pada dirinya. Hak itu tidak dapat dicabut oleh negara. Hak-hak alamiah tersebut tidak lahir dari pengakuan yang diberikan negara pada mereka.3 Ini erat kaitannya dengan teori kontrak sosial. Sebuah teori yang merujuk pada sebuah kesepakatan sosial dan politik, dimana perlindungan atas hak-hak tersebut diserahkan kepada negara. Apabila penguasa negara mengabaikan kesepakatan itu, maka rakyat bebas menurunkannya. Bisa digantikan dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. Gagasan ini bahkan dianggap sebagai pondasi bagi munculnya berbagai gerakan revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Revolusi tersebut muncul sekitar abad ke-17 dan ke-18.4 Di Indonesia, hak asasi manusia dipahami sebagai hak yang universal. Hak yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan melekat pada manusia. Sama sekali tidak mengenal pembedaan berdasar warna kulit, jenis kelamin, usia, latar 3 Manfred Nowak, Introduction to the Internasional Human Rights Regime (Leiden/ Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2003), hlm. 3. 4 Ibid. 19 belakang budaya, agama atau kepercayaannya.5 Hukum hak asasi manusia dipahami sebagai hukum yang mengatur perilaku negara. Dalam hal ini, negara terwakili dalam sosok aparaturnya. Tidak peduli ia warga negara atau bukan, terlepas mereka penyandang disabilitas atau bukan, bahkan orang tanpa kewarganegaraan sekalipun. Mereka tetap memiliki hak yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Hukum hak asasi manusia memberikan petunjuk mengenai hak-hak apa saja yang harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi oleh negara. 2. Prinsip Hak Asasi Manusia Manfred Nowak menyebut bahwa prinsip hak asasi manusia ada empat, yaitu universal (universality), tak terbagi (indivisibility), saling bergantung (interdependent), saling terkait (interrelated). 6 Rhona K.M. Smith menambahkan prinsip lain, yaitu kesetaraan (equality) dan non-diskriminasi (nondiscrimination).7 Beberapa kalangan menyebutkan bahwa prinsip tak terbagi (indivisibility), saling bergantung (interdependent) dan saling terkait (interrelated) merupakan prinsip turunan dari prinsip universal (universality). 5 Baca UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Juga baca Soetandyo Wignjosoebroto, “Hak-Hak Asasi Manusia: Konsep Dasar dan Pengertiannya Yang Klasik pada Masa-Masa Awal Perkembangannya” dalam Toleransi dalam Keragaman: Visi untuk Abad ke-21 Kumpulan Tulisan tentang Hak Asasi Manusia (Surabaya: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya dan The Asia Foundation, 2003), hlm. 4. 6 Ibid., hlm. 27. 7 Rhona K.M. Smith, Texbook on Textbook on International Human Rights, second edition (New York: Oxford University Press, 2005), hlm. 184. Sebagaimana ditegaskan lagi dalam Knut D. Asplun, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (editor), Hukum Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), hlm. 41. 20 Prinsip Universal (universality) Semua orang, di seluruh belahan dunia manapun, tidak peduli apa agamanya, apa warga negaranya, apa bahasanya, apa etnisnya, tanpa memandang identitas politik dan antropologisnya, dan terlepas dari status disabilitasnya, memiliki hak yang sama. Penegasan akan prinsip ini dilakukan melalui Pasal 5 Deklarasi Wina tentang Program Aksi yang berbunyi, “Semua hak asasi manusia adalah universal, tak terbagi, saling bergantung, saling terkait (all human rights are universal, indivisibile, interdependent and interrelated). Prinsip Tak Terbagi (indivisibility) Semua hak asasi manusia adalah sama-sama penting. Oleh karenanya, tidak diperbolehkan mengeluarkan hakhak tertentu atau kategori hak tertentu dari bagiannya. Setiap orang memiliki seluruh kategori hak yang tidak dapat dibagi-bagi. Contohnya, seseorang berhak untuk memilih. Pada saat yang sama, ia berhak untuk makan dan mendapatkan tempat tinggal. Tidak boleh satu hak diberikan, namun beberapa hak yang lain dicabut 21 Saling Bergantung (interdependent) Prinsip ini dimaknai dengan jenis hak tertentu akan selalu bergantung dengan hak yang lain. Contohnya, hak atas pekerjaan akan bergantung pada terpenuhinya hak atas pendidikan. Maka dapat atau tidaknya penyandang disabiltas untuk bekerja, tergantung apakah pendidikan mereka dipenuhi atau tidak. Saling Terkait (interrelated) Prinsip ini dipahami bahwa satu hak akan selalu terkait dengan hak yang lain. Seseorang akan dapat memilih calon anggota legislatif dengan baik, manakala hak atas pendidikannya terpenuhi, sehingga ia mampu membaca surat suara dan platform partai politik dengan baik. Jika seseorang dapat dipilih sebagai anggota legislatif dengan syarat berpendidikan minimal S1, maka penyandang disabilitas juga harus diberikan kesempatan dan akses luas agar dapat menamatkan pendidikan S1, agar dapat dipilih sebagai anggota legislatif. 22 Non Diskriminasi (non-discrimination) Diskriminasi terjadi ketika setiap orang diperlakukan atau memiliki kesempatan yang tidak setara. Misalnya, ketidaksetaraan di hadapan hukum, ketidaksetaraan perlakukan, ketidaksetaraan kesempatan pendidikan dan lain-lain. Sebuah situasi dikatakan diskriminatif atau tidak setara, jika situasi sama diperlakukan secara berbeda atau situasi yang berbeda diperlakukan secara sama. Diskriminasi memiliki dua bentuk, yaitu: (a) Diskriminasi langsung, yaitu ketika seseorang baik langsung maupun tidak langsung diperlakukan secara berbeda daripada lainnya. Contohnya, ketika pemerintah membuat pengumuman bahwa syarat untuk diterima di perguruan tinggi negeri adalah tidak memiliki “kecacatan” fisik tertentu. (b) Diskriminasi tidak langsung, yaitu ketika dampak praktis dari hukum dan/atau kebijakan merupakan bentuk diskriminasi walaupun hal itu tidak ditujukan untuk tujuan diskriminasi. Contohnya, ketika pemerintah membuat pengumuman bahwa syarat menjadi pegawai negeri sipil adalah sehat jasmani dan rohani. Syarat sehat jasmani dan rohani ini seringkali dipahami oleh penyelenggara negara sebagai tidak menyandang disabilitas. 23 Kesetaraan (equality) Kesetaraan dimaknai sebagai perlakuan yang setara, dimana pada situasi yang sama harus diperlakukan dengan sama, dan dimana pada situasi berbeda --dengan sedikit perdebatan--diperlakukan secara berbeda. Kesetaraan juga dianggap sebagai prasyarat mutlak dalam negara demokrasi. Kesetaraan di depan hukum, kesetaraan kesempatan, kesetaraan akses dalam pendidikan, kesetaraan dalam mengakses peradilan yang fair dan lain-lain merupakan hal penting dalam hak asasi manusia. Tantangannya saat ini adalah bagaimana memberikan akses yang setara bagi penyandang disabilitas, jika perlu dengan memberikan fasilitas lebih kepada penyandang disabilitas agar mereka dapat menikmati hidup secara setara. Jika seorang warga negara asing yang berposisi sebagai tersangka berhak mendapat penerjemah bahasa, maka seorang tuli yang berperkara di pengadilan, baik sebagai saksi atau terdakwa, juga berhak untuk mendapatkan penerjemah bahasa isyarat. 24 Tanggungjawab Negara (state responsibility) Aktor utama yang dibebani tanggungjawab untuk memenuhi, melindungi dan menghormati hak asasi manusia adalah negara, melalui aparaturnya. Prinsip ini ditulis di seluruh kovenan dan konvensi hak asasi manusia internasional maupun peraturan domestik. Pasal 71 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia secara tegas mengatakan bahwa, “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. 3. Kewajiban Negara dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia merupakan sistem norma internasional. Hak ini memberlakukan standar minimal bagi negara. Standar minimal inilah yang akan digunakan oleh komunitas internasional untuk memberikan penilaian dan melakukan evaluasi. Mereka akan menilai sejauh mana sebuah negara telah menjalankan kewajiban hak asasi manusia bagi warga negaranya. 25 Ada 3 (tiga) bentuk kewajiban negara, masing-masing adalah kewajiban untuk menghormati (obligation to respect), kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill), dan kewajiban untuk melindungi (obligation to protect).8 Penjelasan dari tiga bentuk kewajiban tersebut adalah:9 Kewajiban untuk Menghormati Negara tidak melakukan campur tangan terhadap hak sipil warga negara. Campurtangan yang tidak sah merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Contohnya adalah: Hak untuk hidup. Berhubungan dengan kewajiban negara untuk tidak membunuh. Kewajiban untuk Memenuhi Hal ini mengacu pada kewajiban negara untuk mengambil langkah legislatif, administratif, yudisial dan kebijakan praktis. Negara harus memastikan hak-hak warga negaranya dapat terpenuhi hingga pencapaian maksimal. Kewajiban untuk Melindungi Kewajiban ini mensyaratkan tindakan aktif dari negara untuk memastikan tidak terjadinya pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga. Mereka yang disebut sebagai pihak ketiga adalah individu, kelompok maupun korporasi. Hak atas integritas fisik dan mental. Berhubungan dengan kewajiban negara untuk tidak menyiksa. 8 9 26 Manfred Nowak, Introduction to ... op. cit., hlm. 48. Ibid., hlm. 48 – 51. Hak untuk memilih. Berhubungan dengan kewajiban negara untuk tidak melarang bahkan mengeluarkan seseorang dari pemilihan umum yang demokratis. Hak untuk bekerja, kesehatan dan pendidikan. Berhubungan dengan kewajiban negara untuk menyediakan pekerjaan, fasilitas kesehatan dan sistem pendidikan. Sebagai contoh, setiap penyandang disabilitas yang ditahan karena tuduhan melakukan kejahatan harus segera didampingi pengacara, dokter, psikolog/psikiater dan ahli yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas sesaat setelah mereka ditahan. Memperlambat pemberian hak ini berpotensi menyebabkan tidak terpenuhinya hak mereka. Penyandang disabilitas berhak atas pendidikan inklusi, maka negara berkewajiban untuk menyediakan sarana dan prasarana agar pendidikan inklusi tersebut dapat terpenuhi. Negara harus menyediakan tatanan yang aman agar penyandang disabilitas tidak rentan menjadi korban kejahatan. Jika penyandang disabilitas menjadi korban kejahatan, maka negara wajib menangkap dan memproses hukum si pelaku. Membiarkan pelaku hidup bebas, sama artinya dengan melanggar hak atas rasa aman korban. Negara juga berkewajiban memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat bekerja di sektor swasta. Mereka juga diharuskan mendapatkan perlindungan dari potensi pelanggaran atau kejahatan dari sektor swasta tersebut. 27 Tidak terpenuhinya tiga kewajiban di atas akan berujung pada pelanggaran hak asasi manusia. Pada posisi ini, pelanggaran hak asasi manusia hanya dapat disematkan kepada negara (pemerintah: eksekutif, legislatif dan yudikatif ). Ketidakmauan (unwillingness) dan ketidakmampuan (unability) negara untuk melindungi dan memenuhi disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia pasif (human rights violation by omission). Sedangkan kegagalan negara untuk menghormati disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia aktif (human rights violation by commission). B. Pengaruh Konsep Hak Asasi Manusia Terhadap Konsep Disabilitas Secara historis, kemunculan hak asasi manusia didasari oleh sebuah situasi yang sulit. Ada sekelompok orang atau bangsa, yang menganggap orang atau bangsa lain bukan manusia, atau setidaknya bukan manusia yang utuh. Derajat kemanusiaan seseorang dipotong dan dibatasi. Mereka diperlakukan sebagai manusia “kelas dua”, diperlakukan tidak selayaknya sebagai manusia. Rekaman mengenai kekejaman dan tindakan yang merendahkan martabat manusia, bisa ditilik pada praktik perang dunia pertama dan kedua. Kejadian dan kekejaman dalam peristiwa itu menjadi penanda yang tak terlupakan. Dua perang dunia tersebut menjadi tonggak bagi munculnya kesadaran baru. Manusia tidak boleh lagi diperlakukan secara kejam. 28 Kemanusiaan tetap harus dihargai sebagaimana mestinya. Bersandar pada sejarah di atas, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948, mengesahkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Sebuah deklarasi yang mengamanahkan kepada manusia untuk segera menghentikan tindakan yang kejam dan merendahkan kemanusiaan. Deklarasi tersebut merupakan upaya negara-negara di seluruh dunia untuk menuju pada tata dunia yang baru. Akan tetapi, pada kenyataannya deklarasi tersebut masih bersifat lunak. Belum ada ikatan bagi negara anggota PBB untuk mematuhinya. Maka, dilakukanlah upaya untuk menyusun perangkat hak asasi manusia yang mengikat secara hukum. Beberapa instrumen hukum kemudian dibuat dan dijadikan dasar rujukan. 1. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. 2. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. 3. Konvensi Hak Anak. 4. Konvensi Menentang Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. 5. Konvensi Menentang Penyiksaan, dan Perlakuan dan Penghukuman yang Merendahkan Martabat Kemanusiaan. 6. Konvensi Anti Diskriminasi Rasial. 29 7. Konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya. Dilihat dari berbagai instrumen di atas, dua kovenan merupakan penjabaran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sementara yang lain adalah penjabaran yang bersifat tematis berdasar kategori hak, seperti Konvensi Anti Penyiksaan, maupun tematis berdasar kategori pemangku hak, seperti Konvensi Hak Anak dan Konvensi Anti Diskriminasi Rasial. Diakuinya aspek tematis hak asasi manusia, membuat komunitas penyandang disabilitas melakukan hal yang lebih besar. Mereka mendorong untuk diakuinya hak-hak mereka menjadi instrumen internasional. Apa yang mereka lakukan menemui titik terang. Pada akhirnya, negara anggota PBB memperkuat komitmen untuk memenuhi hak penyandang disabilitas. Pada 13 Desember 2006, PBB kemudian mengadopsi Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/ CRPD).10 Konvensi ini tetap mengakui bahwa penyandang disabilitas adalah pemangku hak. Konvensi ini juga dibuat sebagai sebuah penanda. Penyandang disabilitas selama ini banyak mendapatkan tindakan diskriminatif. Perlu ada dokumen hukum internasional untuk memastikan hal itu tidak akan terjadi lagi. Mereka harus mendapatkan perlakuan 10 Konvensi ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan diundangkannya UU No. 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention on the Rights of Person with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). 30 yang lebih baik pada masa yang akan datang. Bagaimanapun juga, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas adalah pelanggaran atas martabat kemanusiaan mereka. Disabilitas adalah konsep yang terus berkembang. Kondisi ini tidak terletak pada diri seseorang, tetapi terletak pada interaksinya dengan lingkungan sekitar. Dengan kata lain, disabilitas tidak terletak pada tubuh seseorang, namun terletak pada aspek sosial. Lingkungan sekitar belum memberikan fasilitas yang memadai. Hal ini kemudian membuat mereka terbatasi ketika melakukan aktivitas yang diinginkannya. Konvensi yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia hendak memberikan sebuah penekanan. Negara harus mengambil langkah positif agar hak para penyandang disabilitas dapat dipenuhi. Hak tersebut termasuk hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya. Fasilitas juga mesti diperbaiki, termasuk fasilitas pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan fasilitas peradilan. Ini dilakukan agar penyandang disabilitas hidup secara setara dan sejajar dengan yang lain. Berkaitan dengan akses peradilan, konvensi ini secara terang memerintahkan agar negara bersikap aktif. Layanan harus diberikan agar proses peradilan bagi penyandang disabilitas berjalan dengan lancar dan berkeadilan. Dengan menjadikan Pasal 12 Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas sebagai landasannya, maka dalam konteks Indonesia, pasal ini mengamanahkan beberapa hal. 31 1. Lembaga peradilan di Indonesia harus memastikan bahwa penyandang disabilitas diakui sebagai pribadi utuh di hadapan hukum. 2. Lembaga peradilan di Indonesia harus memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat menggunakan kapasitasnya sebagai pribadi utuh. Hal ini dipergunakan untuk melakukan gugatan hukum dalam prinsip kesetaraan. Pokok pikiran tersebut sesuai dengan prinsip equality before the law. 3. Lembaga peradilan di Indonesia harus mengambil langkah agar penyandang disabilitas dapat mengakses seluruh fasilitas (fisik dan non fisik) peradilan. 4. Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa seluruh kebijakan negara harus dibuat dengan mempertimbangkan akibat bagi penyandang disabilitas. Jika perlu, pemerintah harus membuat skema pengamanan hak-hak penyandang disabilitas. Ini dilakukan agar hak mereka dapat dinikmati secara baik. 5. Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa penyandang disabilitas berhak atas seluruh harta kekayaan yang mereka miliki. Juga berhak mengelola harta kekayaannya sendiri, memiliki akses setara ke sistem perbankan. Harta benda mereka juga tidak bisa dirampas secara sewenang-wenang. 32 Fokus utama ketika membicarakan penyandang disabilitas dalam kaitannya dengan hukum, bukan pada aspek fisik maupun mental mereka. Lebih dari itu, mereka adalah manusia yang setara dengan yang lain. Terkait dengan lembaga peradilan, baik polisi, jaksa atau hakim, maka penyandang disabilitas harus diperlakukan sebagai orang yang setara dengan manusia yang lain. Aparat penegak hukum tidak boleh bertumpu pada aspek fisik dan mental mereka. Harus diupayakan sebisa mungkin agar hambatan interaksinya ditiadakan. Misalnya, ketika ada seorang tuli yang melapor ke kantor polisi, maka polisi tidak boleh berfokus pada ke-tuli-an si pelapor. Polisi harus menyediakan sarana agar si pelapor yang tuli dapat berkomunikasi dengannya. Pada contoh kasus ini, polisi harus mencarikan penerjemah isyarat. Dengan begitu, pelapor yang tuli dapat menyampaikan laporannya dan sang polisi juga dapat memahami apa yang dilaporkan. C. P r i n s i p - P r i n s i p Pe r a d i l a n y a n g Fa ir d a n Hubungannya dengan Hak Penyandang Disabilitas Negara harus berupaya melindungi hak asasi manusia. Penanganan perkara yang melibatkan penyandang disabilitas juga harus dijadikan sasaran perlindungan. Entah pada saat penyandang disabilitas itu posisinya sebagai terdakwa, korban, saksi, atau pihak pada perkara perdata. Hak asasi manusia penyandang disabilitas pada posisi-posisi tersebut tetap harus terlindungi. 33 Perlindungan ini dimaknai sebagai tindakan perlindungan dari pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Kewajiban melindungi juga termasuk mengadili pelaku perbuatan pidana. Perbuatan yang menyebabkan individu, khususnya penyadang disabilitas, atau manusia lain menjadi korban. Sebagai bahan renungan dan tambahan perspektif, berikut ini akan diuraikan kewajiban hak asasi manusia bagi aparat penegak hukum. Didasarkan pada prinsip peradilan yang fair, seperti diatur dalam Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan telah diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005. Prinsip peradilan yang fair akan dijelaskan dengan merujuk pada penjelasan Manfred Nowak tentang Pasal 14 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik.11 Penjelasan ini dilakukan dengan membuat uraian dari berbagai unsur yang terkandung di dalam Pasal 14 tersebut. Prinsipprinsip tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Semua Orang Berhak untuk Diperlakukan Sama di Muka Pengadilan Hak untuk diperlakukan sama di muka pengadilan merupakan hak yang sangat penting dan merupakan prinsip umum dari “rule of law”. Terminologi yang digunakan pada ketentuan kovenan adalah “in full equality” atau dalam persamaan yang penuh. Ini menunjukkan bahwa semua orang 11 Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary, second revised edition (Germany: N.P. Engel Publishers, 2005). 34 memiliki hak yang sama untuk diperlakukan sama di muka pengadilan. Tidak boleh ada pembedaan atas dasar apapun, baik jenis dan kategori disabilitas, ras, suku, agama, identitas kelamin, kekayaan dan lain sebagainya. Pasal 14 Kovenan memberikan ketentuan “equality before the court and tribunals”. Penggunaan istilah “court” dan “tribunals” sengaja dibedakan. Walaupun keduanya memiliki arti bahasa yang sama, tetapi maknanya berbeda. “Court” dimaknai sebagai lokasi, sementara “tribunals” dimaknai sebagai sifat lokasinya yang independen dan imparsialitas. Lembaga peradilan harus memastikan bahwa penyandang disabilitas, baik pada posisi sebagai saksi, korban atau tersangka maupun terdakwa, harus diperlakukan secara setara dengan manusia yang lain. Aparat penegak hukum tidak boleh menganggap bahwa penyandang disabilitas tidak memiliki kemampuan untuk membuktikan kasus yang menimpanya. Ia justru harus mencari cara dan fasilitas agar hambatan interaksi penyandang disabilitas dapat teratasi. Jika seseorang terhambat untuk mengatakan sesuatu secara verbal, maka pengadilan harus memfasilitasi buku untuk menulis atau penerjemah isyarat. Ini dilakukan agar para pihak dalam persidangan sama-sama memahami apa yang sedang dibicarakan. Kesetaraan dalam konteks penyandang disabilitas harus difasilitasi dengan penyediaan sarana. Tujuannya, untuk mengatasi hambatan interaksi antara aparat peradilan dengan penyandang disabilitas. 35 2. Semua Orang Berhak untuk Didengar Keterangannya di Muka Pengadilan Hak untuk didengar keterangannya pada semua tipe peradilan merupakan indikator utama “due process of law”. Seluruh negara pihak berkewajiban menyediakan peradilan (tribunals) yang independen dan imparsial. Menyediakan perangkat yang kompeten untuk mendengar dan memutuskan tuduhan atau dakwaan, serta menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai ketentuan hukum. Ketentuan ini juga bermakna bahwa proses peradilan pidana tidak boleh ditentukan oleh lembaga politik dan pejabat administratif. Peradilan harus dilaksanakan oleh institusi yang kompeten, independen dan imparsial, yang seluruhnya ditentukan oleh hukum.12 Peradilan harus dilaksanakan secara fair dengan mengedepankan asas kesetaraan antar pihak (the principle of equality of arms). Harus ada keseimbangan hak untuk didengar antara jaksa penuntut umum, hakim dan terdakwa (audi et alteram parte). Tidak boleh ada satu pihak yang selalu mendominasi persidangan dengan menghabiskan waktu untuk bicara, namun tidak mau mendengar pihak lain. Peradilan juga harus dilaksanakan secara terbuka (prinsip publisitas). Secara khusus, prinsip publisitas ini berkaitan dengan transparansi administrasi peradilan. Prinsip publisitas dimaknai bahwa seluruh catatan persidangan, termasuk dakwaan, tuntutan dan bahkan putusan harus diumumkan. 12 36 Ibid., hlm. 244. Dengan kata lain, dapat diakses oleh masyarakat umum khususnya terdakwa. Komposisi hakim juga harus diumumkan, termasuk jika ada pergantian di tengah persidangan.13 3. Semua Orang yang Dituduh Melakukan Kejahatan Berhak Mendapatkan Jaminan Perlindungan Minimal a. Praduga Tak Bersalah Prinsip praduga tak bersalah merupakan prinsip penting bagi peradilan yang fair. Di dalam hak asasi manusia, hak ini disebut sebagai hak untuk dianggap tidak bersalah. Semua orang memiliki hak tersebut hingga dinyatakan bersalah oleh mekanisme hukum yang sah. Seorang jaksa penuntut umum harus yakin bahwa terdakwa adalah bersalah. Jika dia ragu atas dakwaannya, maka terdakwa harus dinyatakan tidak bersalah. Hal ini sesuai dengan prinsip kuno “in dubio pro reo”, yang berarti seorang hakim hanya boleh menjatuhkan hukuman karena terdakwa terbukti bersalah, tanpa ada keraguan sedikitpun atas putusannya. Jika hakim merasa ragu, walaupun hanya sedikit, maka terdakwa harus dinyatakan tidak bersalah. Praduga tak bersalah ini berlaku dalam semua keadaan. Walaupun proses peradilan berada di bawah tekanan media, tekanan kelompok masyarakat tertentu, atau bahkan tekanan dari aktor kekuasaan, prinsip ini harus tetap dijalankan dan ditegakkan.14 13 14 Ibid., hlm. 248-250. Ibid., hlm. 254. 37 b. Terdakwa Berhak Mendapatkan Informasi Tentang Apa yang Dituduhkan Kepadanya Terdakwa memiliki hak untuk mengetahui dakwaan apa yang dituduhkan kepadanya. Kewajiban untuk menginformasikan ini berkaitan dengan sifat dan penyebab adanya dakwaan. Atas alasan apa seseorang ditahan, mengapa seseorang ditahan dan pasal apa yang didakwakan harus diinformasikan kepada terdakwa sejak awal penangkapan. Informasi mengenai dakwaan tidak saja berkaitan dengan pasal apa yang dituduhkan, tetapi juga fakta hukum (perbuatan riil) yang dianggap bertentangan pasal yang dituduhkan. Informasi tentang dakwaan ini sangat penting, karena berkaitan dengan hak terdakwa untuk mempersiapkan pembelaan atau mencari pembela atas tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Informasi tentang dakwaan juga harus disampaikan dengan bahasa yang dimengerti oleh terdakwa. Jika jaksa atau penyelidik dan penyidik tidak mampu berbahasa sesuai bahasa terdakwa, maka mereka harus mencarikan seorang penerjemah untuk mengalihbahasakan dakwaan sesuai bahasa terdakwa. Fasilitas pengalihbahasaan ini bersifat gratis. Tidak boleh penyelidik dan penyidik menuntut bayaran atas jasa penerjemah. Justru mereka sebagai aparatur negara harus menyediakan dan membayar jasa penerjemah dimaksud.15 Ketika pengadilan menghadirkan penyandang disabilitas, baik sebagai saksi maupun terdakwa, maka pengadilan harus 15 38 Ibid., hlm. 255. memastikan bahwa seluruh percakapan dan perdebatan yang terjadi di pengadilan dapat dimengerti dengan baik oleh penyandang disabilitas. Dalam kondisi terdakwa adalah seorang tuli, maka pengadilan harus menyediakan penerjemah bahasa isyarat dan harus memastikan bahwa proses penerjemahannya tidak keliru. Kekeliruan penerjemahan akan menyebabkan seorang tuli merespon dan memberikan keterangan yang keliru. Kekeliruan penerjemahan juga akan mendorong hakim membuat putusan yang keliru. Jika ini terjadi, maka pengadilan sedang melakukan ketidakadilan. c. Terdakwa Berhak Mendapatkan Pembelaan Hak atas pembelaan ini berkaitan dengan tiga hal yaitu; Pertama, terdakwa berhak atas waktu yang cukup untuk mempersiapkan pembelaan. Antara penangkapan dengan persidangan harus ada cukup waktu bagi terdakwa untuk mengkonsultasikan kasusnya dengan pembela. Dengan begitu, pembela memiliki informasi versi terdakwa dengan cukup lengkap dan memadai. Kedua, terdakwa berhak atas fasilitas yang cukup untuk mempersiapkan pembelaan atas dirinya. Fasilitas ini berkaitan dengan hak terdakwa atau tim pembelanya untuk mengakses dokumen, rekaman penyidikan dan dokumen-dokumen lain yang digunakan untuk mempersiapkan pembelaan. 39 Ketiga, terdakwa berhak untuk berkomunikasi dan berkonsultasi dengan tim pembela sesuai dengan pilihannya sendiri.16 Hal ini berkaitan dengan tidak boleh ada paksaan bagi terdakwa untuk menggunakan tim pembela tertentu, sehingga terdakwa memiliki kebebasan untuk memilih pembela sesuai pilihan dia sendiri. Ketika seorang penyandang disabilitas netra dihadirkan di pengadilan, maka hakim wajib memberikan akses yang memungkinkan penyandang disabilitas netra dapat membaca seluruh dokumen yang ada. Jika penyandang disabilitas netra sudah terbiasa dengan komputer, maka seluruh dokumen harus diberikan kepada mereka dalam bentuk versi elektronik (soft file). Jika tidak, pengadilan harus menyediakan petugas yang akan membacakan seluruh dokumen satu persatu dengan teliti dan hati-hati. Negara wajib membantu penyandang disabilitas yang menjadi korban perbuatan pidana. Sejauh ini, peraturan perundang-undangan baru memberikan amanat kepada negara untuk memfasilitasi seseorang yang menjadi pelaku perbuatan pidana. Bentuknya adalah keberadaan penasehat hukum gratis (pro bono).17 Pada konteks penyandang disabilitas sebagai korban, maka seyogyanya penyidik, baik polisi maupun jaksa, harus berusaha sekeras mungkin agar penyandang disabilitas mendapatkan Ibid., hlm. 256. Penasehat hukum yang dibayar oleh negara untuk membantu seorang tersangka yang karena kemiskinannya tidak mampu membayar penasehat hukum. 16 17 40 perlindungan yang memadai. Diusahakan untuk mendapatkan fasilitas agar mereka dapat memberikan keterangan sebagai korban dengan baik dan memadai. Tantangannya justru lebih berat ketika penyandang disabilitas sebagai korban. Apalagi pelakunya adalah non disabilitas, dan bahkan memiliki kekuasaan. Pada kasus seperti ini, aparat penegak hukum harus berbuat lebih kuat agar kasuskasus semacam ini dapat diadili dengan baik. Pembelaan pada korban harus dilakukan sejak awal kasus terjadi hingga proses peradilan selesai. Pembelaan terhadap korban seharusnya menjadi tanggungjawab negara melalui penyidik dan penuntut. Penyidik dan penuntut adalah aparat negara. Tugasnya untuk mewakili korban dalam perkara pidana. Oleh karenanya, penyidik dan penuntut harus memastikan bahwa korban terlindungi. Keterangannya dapat dipahami dengan baik pada proses peradilan. d. Terdakwa Berhak untuk Tidak Ditunda-Tunda Persidangannya Hak ini berkaitan dengan kewajiban bagi pengadilan untuk segera mengumumkan anggota majelis hakim yang akan menangani perkara. Begitu terdakwa diserahkan ke pengadilan, maka majelis hakim yang pasti harus segera dibentuk tanpa ada penundaan, tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum. 41 Jika proses peradilan memungkinkan adanya mekanisme pemeriksaan pendahuluan (dismissal), maka antara putusan pemeriksaan pendahuluan (dismissal) dengan penyerahan kepada pengadilan yang sesungguhnya harus dilakukan dalam dalam waktu yang tidak terlalu lama. Tidak ada patokan pasti mengenai toleransi waktu maksimal, namun sesuai dengan yurisprudensi dari pengadilan hak asasi manusia di banyak negara, seharusnya waktunya tidak lebih dari 2 bulan.18 Hak untuk disidang tanpa ada penundaan yang tidak tepat, tidak hanya berkaitan dengan kapan persidangan dimulai, tetapi juga dengan kapan persidangan akan berkahir dan putusan dijatuhkan.19 Semua tahapan persidangan harus dilakukan tanpa ada penundaan yang tidak tepat. Proses peradilan harus dipastikan di dalam hukum acaranya, bahwa tidak akan terjadi penundaan yang tidak tepat. Baik pada saat mulai persidangan, ataupun pada saat proses persidangan hingga selesai dengan penjatuhan putusan. e. Terdakwa Berhak untuk Membela Diri Hak untuk membela diri ini berkaitan dengan empat hal, yaitu (1) hak untuk membela diri sendiri, (2) hak untuk memilih pembela sesuai keinginannya sendiri, (3) hak untuk Ibid., hlm. 257-258. Komentar Umum 13 terhadap Pasal 14 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, yang kemudian dijelaskan lebih tegas oleh Andrew Puddeaphatt, “The Right to a Fair Trial”, dalam Rhona K.M. Smith dan Christien van den Anker, the Essentials of Human Rights (London: Hodder Arnold, 2005), hlm. 131. 18 19 42 diberi informasi bahwa dia berhak atas pembelaan, dan (4) hak untuk mendapatkan pembelaan yang gratis. Secara prinsip terdakwa berhak membela dirinya sendiri. Dia juga berhak meminta pembela untuk mewakili dan membela kepentingannya. Dalam hal ini, pengadilan harus selalu memberikan informasi kepada terdakwa bahwa dia berhak atas pembelaan. Secara prinsip, terdakwa berhak memilih pembela sesuai pilihannya. Jika terdakwa tidak memiliki cukup uang untuk membayar, maka ia berhak atas bantuan hukum gratis. Pengadilan wajib menyediakan pembela bagi terdakwa. Hal ini berkaitan dengan kewajiban administratif dari pengadilan. f. Terdakwa Berhak untuk Memanggil dan Menyanggah Kesaksian Saksi Terdakwa memiliki hak untuk memanggil saksi yang dapat meringankan bagi dirinya. Ia juga berhak menyanggah kesaksian orang yang memberatkan atau bertentangan dengan kebenaran yang sesungguhnya.20 Ketentuan ini akan sangat sederhana, ketika persidangan melibatkan seseorang bukan penyandang disabilitas. Namun tantangannya adalah ketika proses peradilan melibatkan penyandang disabilitas, entah sebagai saksi, korban atau terdakwa. Tugas aparat penegak hukum pada bagian ini adalah memastikan bahwa saksi maupun sanggahan terdakwa atas 20 Ibid., hlm. 262. 43 keterangan saksi adalah benar dan tidak mengada-ada. Menyeimbangkan antara kepentingan terdakwa dan korban menjadi tugas yang cukup berat. Contohnya adalah jika ada seorang laki-laki dewasa bukan penyandang disabilitas melakukan kekerasan seksual terhadap seorang anak perempuan tuli. Korban kemudian dihadirkan di pengadilan. Ketika persidangan, korban dibantu oleh seorang penerjemah. Jika tidak berhati-hati, terdakwa akan serta merta menyanggah keterangan korban yang disampaikan melalui penerjemah. Pada kasus semacam ini, ketelitian dan keberanian aparat penegak hukum untuk meneliti pernyataan dan keterangan korban akan sangat menentukan apakah pelaku akan diganjar hukuman atau tidak. g. Terdakwa Berhak Mendapatkan Penerjemah dalam Hal Dia tidak Mampu Berbahasa Seperti yang Digunakan oleh Aparat Pengadilan Hak untuk mendapatkan penerjemah ini mengandung perdebatan, yaitu apakah penerjemahan itu hanya dilakukan pada saat terjadi persidangan, atau termasuk menerjemahkan seluruh dokumen seperti BAP, barang bukti, keterangan tertulis dan lain sebagainya. Hal ini ditujukan untuk memastikan bahwa terdakwa mendapatkan proses peradilan yang fair. Penerjemahan juga dibutuhkan untuk membantu terdakwa yang tidak mampu membaca surat dakwaan, sehingga dia mengerti dokumen surat 44 dakwaan yang dituduhkan kepadanya. Mengingat pentingnya terdakwa mengetahui seluruh proses persidangan, maka Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (European Court of Human Rights) memutuskan sebuah hal. Penerjemahan harus dilakukan terhadap seluruh dokumen tertulis dan percakapan lisan di dalam persidangan. Pemberian penerjemah secara gratis ini bersifat absolut. Pengadilan harus memberikan penerjemah. Hal ini berkaitan dengan hak terdakwa untuk mendapatkan peradilan yang fair. Hal ini lebih ditekankan bagi negara-negara yang memiliki kelompok suku minoritas yang memiliki bahasa sendiri yang berbeda dengan bahasa nasional. 21 Pada konteks persidangan yang melibatkan orang penyandang disabilitas rungu wicara, maka pengadilan wajib menyediakan penerjemah isyarat. Mengingat tidak semua orang tuli memahami bahasa isyarat yang sudah terkodifikasi, seperti Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Oleh karena itu, sebelum persidangan dimulai, aparat penegak hukum harus melakukan tes perkiraan (assessment). Tujuannya untuk mengetahui bahasa isyarat seperti apa yang dipahami oleh penyandang disabilitas tuli tersebut. 21 Ibid., hlm. 263. 45 h. Terdakwa Tidak Boleh Dipaksa Bersaksi untuk Dirinya Sendiri Hak untuk tidak boleh dipaksa bersaksi untuk dirinya sendiri ini berasal dari tradisi English Common Law. Hak ini muncul sebagai respon atas terjadinya berbagai macam bentuk tekanan fisik maupun mental. Misalnya, penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi atau berbagai macam tindakan kekerasan, yang dilakukan untuk memaksa terdakwa untuk mengakui kesalahan. 22 i. Terdakwa yang Masih di Bawah Umur Harus Mendapatkan Perlakuan Khusus Seorang anak yang berada di bawah umur 18 tahun memiliki hak untuk diperlakukan secara khusus dalam proses peradilan. Perlakuan itu antara lain negara harus menghapuskan hukuman mati bagi anak di bawah umur 18 tahun. Anak juga harus dipisahkan dari orang dewasa di tahanan dan di penjara. Pengadilan bahkan dianjurkan untuk mengedepankan proses rehabilitasi dari pada hukuman. Kovenan ingin memastikan bahwa persidangan bagi anak harus berbeda dengan persidangan bagi orang dewasa. Pengadilan harus mengedepankan proses rehabilitasi dan lebih mengedepankan pendekatan pendidikan bagi anak yang berurusan dengan hukum.23 Pada bagian ini tantangan yang harus dicarikan jalan keluar adalah berkaitan dengan anak 22 23 46 Ibid., hlm. 264. Ibid., hlm. 265-266. dengan disabilitas intelektual.24 Jika seseorang melakukan kejahatan yang korbannya adalah anak dengan disabilitas intelektual, umur yang mana yang akan digunakan sebagai patokan. Apakah umur kalender atau umur mental? Keputusan mengenai penggunaan kategori umur ini akan berimplikasi pada hukum apa yang harus diterapkan, apakah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dan/atau UndangUndang tentang Pengadilan Anak. Jika yang digunakan adalah umur kalender, maka anak tersebut akan dianggap sebagai orang dewasa dan hukum yang digunakan adalah KUHP. Jika dikategorikan sebagai anak, maka selain KUHP, ada peraturan lain yang akan diterapkan yaitu UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Peraturan terakhir mengamanatkan bahwa seseorang yang melakukan kejahatan dimana korbannya adalah seorang anak, maka hukumannya diperberat sepertiga dari yang seharusnya. j. Terdakwa B erhak Mengajukan B anding ke Pengadilan yang Lebih Tinggi Seorang terdakwa yang telah diputus bersalah oleh pengadilan berhak mengajukan banding ke pengadilan yang 24 Dahulu anak ini disebut sebagai ‘idiot’ atau ‘anak dengan retardasi mental’. Namun saat ini istilah itu sudah ditinggalkan dan diganti dengan istilah anak dengan disabilitas intelektual. Anak dengan disabilitas intelektual adalah seseorang yang umur fisik atau tubuhnya tidak sesuai dengan umur mentalnya. Misal, secara kalender, anak tersebut telah berumur 23 tahun, namun umur mentalnya baru 8 tahun. 47 lebih tinggi. Seluruh prinsip peradilan yang fair juga harus dilaksanakan di pengadilan tingkat banding. Pengadilan, dalam hal ini adalah hakim, berkewajiban untuk menginformasikan bahwa terpidana memiliki hak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Hak untuk banding ini tidak hanya bagi terpidana dalam kasus kejahatan, namun juga pada kasus-kasus pelanggaran .25 k. Terdakwa Berhak Mendapatkan Kompensasi dalam Hal Terjadi Miscarriage of Justice Miscarriage of Justice biasa diartikan sebagai kegagalan atau kekeliruan pengadilan. Terdakwa berhak atas ganti rugi atas kekeliruan pengadilan dalam menangani perkara. Kompensasi dapat dituntut berdasarkan beberapa persyaratan di bawah ini: 1. Telah ada vonis atas dakwaan akhir dari tindakan pidana, 2. Putusan yang sebaliknya dan pengampunan atas orang yang telah divonis didasarkan atas alasan di bawah ini, a. Adanya pengakuan bahwa telah terjadi kekeliruan pengadilan (Miscarriage of Justice). b. Tidak adanya kesalahan atas orang yang divonis karena pertimbangan pengungkapan yang terlambat. 25 48 Ibid., hlm. 268. c. Telah menjalani hukuman atas putusan dari kekeliruan pengadilan (Miscarriage of Justice). Putusan haruslah putusan final yang tidak ada peluang upaya hukum lagi. Putusan yang dimaksud hanyalah terhadap putusan atas perkara pidana. Kompensasi yang diberikan karena adanya kekeliruan pengadilan harus dibarengi dengan pengampunan atau pembebasan dari segala dakwaan kepada terdakwa. Kompensasi juga dapat diberikan kepada terdakwa yang telah dijatuhi hukuman, yang kemudian diketemukan bukti baru yang menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah. Bentuk hukuman ini tidak hanya hukuman penjara tetapi segala bentuk hukuman yang lain. 26 l. Prinsip “ne bis in idem” Prinsip ne bis in idem bermakna bahwa kasus yang sama tidak dapat diajukan dua kali ke pengadilan. Usulan atas prinsip ini diajukan oleh Jepang dan Itali. Intinya, prinsip ini ingin mengatakan bahwa tidak boleh satu orang diadili dua kali untuk kesalahan atau perkara yang sama (no one shall be tried twice for the same offence) . Prinsip ini dapat dilanggar ketika ditemukan dokumen atau bukti baru atas seseorang. Artinya jika diketemukan dokumen atau bukti baru, maka kasus serupa bisa diangkat kembali untuk diadili. 27 26 27 Ibid., hlm. 270. Ibid., hlm. 273. 49 50 Bab III Pendekatan Sosial dalam Memahami Disabilitas A. Memahami Disabilitas dengan Pendekatan Sosial “I choose not to put “dis”, in my ability”1 Nama saya Joni Yulianto. Saya adalah seorang penyandang disabilitas netra. Kebetulan saya mendapat tugas untuk menyelesaikan tulisan yang sedang Anda baca ini. Saya tidak mungkin dapat menyelesaikannya, jika tak ada sarana yang mendukung. Biasanya saya memakai komputer yang dilengkapi dengan piranti lunak pembaca layar.2 Piranti lunak ini sangat membantu saya. Lantaran alat tersebut, tulisan ini bisa terselesaikan secara baik dan bisa Anda nikmati. Adanya piranti lunak pembaca layar adalah salah satu faktor pendukung bagi saya untuk menulis. Ini membuat hambatan penglihatan saya menjadi hilang. Dengan demikian, hambatan disabilitas penulis untuk membaca, menulis, dan mengolah informasi menjadi teratasi. 1 Dikutip dari quote yang ditulis aktifis disabilitas sekaligus penyair Amerika, Robert M. Hensel. 2 Perangkat lunak pembaca layar adalah perangkat pada komputer, telepon pintar serta teknologi digital lainnya yang bekerja memberikan respon audio atau suara atas text yang dimunculkan di perangkat digital tersebut. Disebut juga dengan “Screen Reader”. Lebih lanjut mengenai perangkat lunak pembaca layar atau screen reader dapat dipelajari di http://en.wikipedia.org/wiki/Screen_reader 51 Ada beragam cara memahami disabilitas. Sebagian orang memahami disabilitas sebagai apa yang dulu dikenal sebagai kecacatan. Kata disabilitas tak jarang digunakan untuk menggambarkan atau menggantikan sebuah kondisi. Seseorang yang mengalami kehilangan fungsi (fisik dan mental), baik sebagian maupun keseluruhan, bisa digantikan menggunakan kata “disabilitas”. Sebagai contoh adalah penggunaan kata “disabilitas netra” yang digunakan untuk menyebut yang tidak melihat. Kemudian kata “disabilitas fisik” untuk menyebut yang mempunyai perbedaan bentuk dan fungsi fisik. Ada juga kata “disabilitas mental” untuk menyebut mereka dengan perbedaan fungsi mental atau intelektual. Dalam studi disabilitas, pandangan ini disebut model medis. Secara sederhana, model pendekatan ini berdasar pada pendapat bahwa setiap orang seharusnya “normal”.3Mereka yang mempunyai perbedaan baik fisik maupun mental, dikategorikan sebagai “tidak normal”. Perbedaan tersebut kemudian ditangani melalui rehabilitasi, penyembuhan serta perlakuan khusus untuk menjadi senormal mungkin. Pandangan ini beranggapan bahwa disabilitas disebabkan ketidakberesan fisik maupun mental, baik sebagian maupun secara keseluruhan. Pandangan lain tentang disabilitas adalah apa yang disebut sebagai model sosial tentang disabilitas. Menurut perspektif model ini, disabilitas bukan disebabkan semata-mata oleh 3 Colin Barnes, and Geof Mercer (eds), Exploring the Divide: Illness and Disability (Leeds: The Disability Press, 1996), pg. 29 -54. 52 gangguan fungsi fisik atau mental. Mengapa muncul disabilitas? Penyebabnya adalah kegagalan lingkungan serta masyarakat sekitar saat memberikan respon terhadap keberadaan orangorang dengan keterbatasan fisik atau mental.4 Kata “penyandang disabilitas” merupakan istilah pengganti dari kata “penyandang cacat” yang dulu lebih banyak digunakan. Istilah ini resmi dipergunakan setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/ CRPD) dengan diterbitkannya UU No. 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention on the Rights of Person with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Penyandang disabilitas adalah mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan. (Pasal 1 Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Jika kita melihat pengertian tersebut secara lebih seksama, maka disabilitas merupakan sebuah hasil dari interaksi antara; 4 UPIAS, Fundamental Principles of Disability (London: Union of the Physically Impaired Against Segregation, 1976). 53 keterbatasan fungsi fisik atau mental, faktor personal di luar keterbatasan fungsi, dan respon sosial. Faktor yang disebutkan terakhir tadi melahirkan respon sosial yang lebih luas, yang mendukung hambatan atas ketidakmampuan tersebut.5 Definisi disabilitas yang ada dalam konvensi terinspirasi dari pendekatan sosial. Tak lagi melihat permasalahan disabilitas sebagai masalah seseorang. Bahkan saat ini, model sosial yang diterapkan sangat erat hubungannya dengan kerangka hak asasi manusia. Gabungan pendekatan sosial dan hak asasi manusia menerapkan sebuah pandangan baru. Kecacatan (impairment)6 maupun keterbatasan fungsional, sesungguhnya tidak berhubungan dengan ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas maupun partisipasi sosial.7 Masyarakat, lingkungan, bahkan negara dianggap gagal memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas.8 Isu disabilitas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari isu hak asasi manusia. Berangkat dari kenyataan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia. Maka, pengecualian atau pengucilan sosial yang dialami oleh penyandang disabilitas adalah pelanggaran hak. Jaminan atas kesetaraan, kesamaan hak dan partisipasi penuh juga seharusnya WHO, International Clasification of Functioning, Disability and Health (World Health Organization: 2001). 6 Dalam tulisan ini, impairment diartikan sebagai gangguan atau kerusakan fungsi fisik, mental, kejiwaan maupun anatomi tubuh, baik sebagian maupun keseluruhan. Impairment berkontribusi pada terjadinya disabilitas. Definisi tersebut diadopsi secara bebas dari berbagai sumber, termasuk http://en.wikipedia.org/wiki/ Impairment. 7 Colin Barnes and Geof Mercer., op.cit. 8 UPIAS, op.cit. 5 54 melekat pada penyandang disabilitas. Cara sederhana dalam memahami disabilitas adalah dengan mengenalinya dalam 3 (tiga) faktor. Masing-masing adalah faktor kerusakan fungsi; baik fisik maupun mental, kemudian faktor kondisi personal, serta faktor lingkungan dan masyarakat.9 Kerusakan fungsi; baik fisik atau mental merupakan sesuatu yang paling mudah kita kenali. Contohnya, buta, tuli, amputasi tangan atau kaki, baik sebagian maupun keseluruhan. Adapun kondisi personal merupakan faktor individu di luar terjadinya kerusakan fungsi fisik atau mental yang dialami. Hal ini disadari atau tidak akan berpengaruh terhadap terjadinya disabilitas. Sementara faktor lingkungan dan masyarakat dapat berupa sarana dan prasarana fisik. Bisa juga karena perlakuan dan penerimaan masyarakat, ataupun keberadaan kebijakan serta aspek peraturan. World Health Organization, How to Use the ICF: A Practical Manual for Using the International Clasification of Functioning, Disability and Health (ICF). Exposure Draft for Comment (Jeneva: October 2013). 9 55 Tabel di bawah ini mencoba menggambarkan interaksi dari ke tiga komponen di atas: Kerusakan Faktor Faktor Lingkungan Fungsi Individu Sosial Tuli - Usia remaja - Diajarkan untuk - Motivasi menggunakan dan percaya bahasa isyarat diri tinggi sejak dini oleh keluarga - Belajar di sekolah dengan fasilitas dan pendampingan Bahasa isyarat yang mencukupi - Orangtua dan keluarga membiasakan komunikasi dan sosialisasi dengan oral (lips reading) Tuli - Usia remaja -Berada dalam - Motivasi lingkungan dan percaya keluarga yang kurang diri tinggi berpendidikan. Tak memperoleh pembelajaran bahasa dan komunikasi -Tak ada sekolah yang menerima remaja tuli di lingkungan tersebut 56 Deskripsi Disabilitas Kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi sangat mengandalkan lips reading dan bahasa isyarat. Kemampuan komunikasi sangat terhambat, meski dengan bantuan penerjemah sekalipun. Mempunyai keterbatasan kosa kata. Hanya menangkap bahasa tubuh dari keluarga dan orang-orang yang sehari-hari bersamanya Mari kita baca tabel diatas dengan seksama. Dua orang dengan kerusakan fungsi dan karakter personal yang sama. Mereka berdua hidup dalam lingkungan yang berbeda. Secara otomatis, hambatan yang akan dialami akan berbeda. Dalam tabel di atas, orang pertama yang mengalami tuli total, kemampuan komunikasi dan bahasa isyaratnya cukup bagus. Dia juga mampu membaca gerak bibir dengan baik. Ini akan memudahkannya untuk menangkap informasi dari mereka yang tak mampu berbahasa isyarat. Bandingkan dengan sosok kedua. Meski tingkat kerusakan fungsi dan karakternya sama, kemampuan komunikasinya sangat terhambat. Selain kosakata yang buruk, sosok ke dua juga hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa tubuh yang terbatas. Hanya bisa melihat dan mengartikan bahasa tubuh dari orangorang terdekatnya. Hal ini tak lepas dari faktor lingkungan dimana ia berada. Persoalan disabilitas tidak bisa selesai jika hanya terfokus pada kerusakan fungsinya saja. Hambatan yang dialami oleh penyandang disabilitas tidak terhenti pada soal aktivitas. Lebih dari itu, partisipasi sosial dan pemenuhan hak mereka juga turut dijadikan patokan. Disinilah pentingnya sebuah pendekatan penanganan yang menyeluruh. Penanganan yang dapat meliputi pencegahan, rehabilitasi, kebijakan serta penyediaan sarana dan prasarana. 57 B. Implikasi Penggunaan Pendekatan Sosial terhadap Klasifikasi Disabilitas Mari kita bersama-sama melihat ragam kategori dan klasifikasi penyandang disabilitas. Pembagian tersebut telah banyak dipergunakan di Indonesia. Salah satunya merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) No. 4 Tahun 2012 Tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Peraturan tersebut memperkenalkan klasifikasi disabilitas, yang terdiri dari; 1. Gangguan penglihatan;10 2. Gangguan pendengaran;11 3. Gangguan wicara;12 4. Gangguan motorik;13 Gangguan penglihatan berarti hilangnya fungsi penglihatan baik sebagian maupun keseluruhan. Bisa disebabkan oleh berbagai hal, baik permanen maupun sementara atau temporer. Disebut juga buta atau tunanetra. Informasi lebih lanjut dapat merujuk kepada salah satu organisasi yang fokus pada isu gangguan penglihatan, seperti Yayasan Mitranetra (http://www.mitranetra.or.id) 11 Gangguan pendengaran merupakan hilangnya fungsi atau tingkat pendengaran, baik sebagian maupun keseluruhan (dari berbagai sumber). Tingkat kehilangan pendengaran antara telinga yang satu dengan yang lain bisa jadi berbeda. Bisa jadi orang dengan gangguan pendengaran, dapat mendengar lebih baik dengan salah satu telinga. Salah satu mitos yang tidak benar adalah bahwa orang dengan gangguan pendengaran selalu tidak dapat bicara, dan sebaliknya. Pada kenyataannya, mereka tetap dapat berkomunikasi dengan bahasa oral atau isyarat, atau bahkan keduanya. Informasi lanjut mengenai orang dengan gangguan pendengaran dapat dilihat di http://gerkatin.com/ 12 Gangguan wicara dikenal juga dengan sebutan “bisu”. Merupakan gangguan pada fungsi organ wicara yang menyebabkan hilangnya fungsi wicara, baik total maupun sebagian. 13 Gangguan motorik adalah gangguan pada otot-otot gerak. Gangguan ini berakibat pada perbedaan kemampuan motorik pada organ-organ gerak tubuh. Situasi ini menghambat aktivitas yang memerlukan gerak anggota tubuh. 10 58 5. Cerebral palcy;14 6. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif;15 7. Autis;16 8. Epilepsi;17 9. Tourette’s syndrome;18 10. Gangguan sosialitas, emosional dan perilaku; 11. Retardasi mental.19 14 Cerebral palsy (CP) berasal dari kata Cerebrum yang berarti otak dan palsy yang berarti kelumpuhan. Jadi, cerebral palsy adalah kelumpuhan/cedera/ kerusakan pada otak yang berpengaruh pada organ gerak tubuh dan koordinasi otot. Cerebral palsy tidak berkembang secara progresif. Cerebral palsy juga tidak dapat disembuhkan, tetapi dengan pendidikan, terapi dan penggunaan teknologi alat bantu dapat meningkatkan kemampuan seorang cerebral palsy untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dan produktif. Cerebral palsy bukanlah suatu penyakit, tidak menular dan tidak menurun. 15 Ada beberapa ragam gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas, yaitu: inattentiveness (tidak memperhatikan); impulsiveness (impulsifitas); hyperactivity (hiperaktifitas); distractibility (mudah terganggu); disorganization (tidak terorganisasi / teratur); social difficulties (kesulitan sosial); difficulties with coordination and learnining problem (kesulitan koordinasi dan gangguan belajar). Lebih lanjut dapat dibaca dalam http://majalah1000guru.net/2011/01/gangguanpemusatan-perhatian/ 16 Secara bebas, autis dapat dijelaskan sebagai kondisi dimana seseorang mempunyai kecenderungan kepribadian yang menyenangi untuk hidup pada dunianya sendiri. Hal ini disebabkan oleh gangguan sistem otak. Tanda-tanda yang mudah diidentifikasi adalah senang melakukan sesuatu yang berulang-ulang. Ia juga enggan melakukan kontak mata maupun interaksi dengan orang lain. Salah satu bacaan yang relevan dapat dilihat di http://tipsanak.com/503/pengertian-anak-autismengenal-karakteristik-anak-autis/ 17 Epilepsi merupakan gangguan fungsi otak yang singkat.Gangguan fungsi tersebut disebabkan karena lonjakan kerja sel otak yang hingga kini masih belum tahu penyebabnya. Salah satu bacaan informasi awal mengenai epilepsi dapat dilihat pada link berikut: http://www.jw.org/id/publikasi/majalah/g201310/epilepsi/ 18 Merupakan gangguan yang berhubungan dengan syaraf dan kejiwaan atau kepribadian. Hal ini terjadi karena gangguan fungsi otak. Lebih lanjut referensi mengenai hal ini dapat dilihat di http://en.wikipedia.org/wiki/Tourette_syndrome 19 Pasal 3 huruf A, Perda DIY No.4 Tahun 2012. 59 Pengklasifikasian tersebut hanya berdasar pada penggolongan kerusakan fungsi. Disandingkan dengan model sosial, klasifikasi semacam ini tidak dapat memberikan informasi apapun mengenai tingkat disabilitas. Model sosial menekankan lingkungan dalam beradaptasi. Model ini juga ingin memastikan bahwa kebutuhan akomodasi penyandang disabilitas dapat terfasilitasi. Ini dilakukan semata-mata agar hambatan mereka untuk berinteraksi menjadi hilang. Dalam tataran praktis, informasi awal mengenai disabilitas misalnya jenis kerusakan fungsi yang dialami, menjadi sangat penting. Ini akan digunakan sebagai data awal untuk mengukur tingkat hambatan. Data tersebut akan dipakai untuk menentukan akomodasi atau layanan yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Dengan begitu, hambatan berinteraksi bagi penyandang disabilitas bisa dihilangkan. C. Kategori Hambatan Tidaklah mudah merumuskan kategori hambatan bagi penyandang disabilitas. Sangat dimungkinkan konsep disabilitas akan terus berkembang. Namun demikian, untuk kepentingan panduan pada buku ini, akan diuraikan beberapa jenis hambatan yang kerap kali muncul dan dialami oleh penyandang disabilitas. Selain didasarkan pada pengalaman penyandang disabilitas, identifikasi atas pengkategorian ini juga lewat diskusi atas proses perumusan buku ini. 60 1. Hambatan Sarana Prasarana Fisik dan Mobilitas Keberadaan sarana dan prasarana fisik merupakan hal penting. Hal ini akan sangat mendukung aktivitas penyandang disabilitas. Kita akan mengambil contoh mereka yang mengalami kaki layu. Mereka akan dapat melakukan aktivitas secara mandiri apabila didukung kursi roda atau kruk dan ditambah dengan sarana prasarana yang memadai. Beberapa contoh penunjang untuk meminimalkan hambatan ini diantaranya adalah: a. Aksesibilitas bangunan; jalan masuk, ruangan dan fasilitas gedung, serta jalan keluar gedung harus didesain untuk memudahkan semua pengguna. Termasuk bagi mereka yang menggunakan kursi roda. b. Tersedianya lift yang menghubungkan antar lantai pada bangunan bertingkat. c. Tersedianya toilet bagi penyandang disabilitas dengan merujuk desain yang mudah diakses bagi pengguna kursi roda. d. Ukuran pintu dan lorong yang memberikan keleluasaan bagi pengguna kursi roda, maupun alat bantu berjalan lainnya. e. Penerangan yang cukup bagi pengguna dengan tingkat penglihatan rendah. f. Lokasi dan desain penempatan loket pelayanan yang mudah dijangkau bagi penyandang disabilitas, termasuk bagi pengguna kursi roda. 61 g. Ketersediaan alat bantu seperti kursi roda atau kruk, pada bangunan-bangunan maupun gedung pelayanan umum. h. Ketersediaan staf gedung yang tanggap dalam memberikan bantuan kepada penyandang disabilitas. 2. Hambatan Perilaku Keberadaan penyandang disabilitas seringkali direspon dengan perilaku yang berlebihan. Terkadang terlalu baik, termasuk pemberian bantuan yang berlebihan. Sebaliknya, muncul juga perilaku penolakan atau keengganan untuk berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Perilaku tersebut bisa muncul karena kurangnya pemahaman terhadap keberadaan penyandang disabilitas. Pada bagian lain dari buku ini sudah secara rinci memberikan panduan tentang cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas. 3. Hambatan Hukum dan Prosedurnya Hambatan ini terjadi lantaran adanya kebijakan, aturan hukum, atau prosedur yang merugikan penyandang disabilitas. Tidak ada aturan yang jelas untuk memberikan jaminan atas pemenuhan hak penyandang disabilitas juga masuk dalam kategori ini. Sedapat mungkin aturan yang ada harus memberikan kesetaraan pada penyandang disabilitas. 62 4. Hambatan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi Dewasa ini, akses terhadap informasi dan komunikasi melalui teknologi merupakan sebuah kebutuhan. Hal yang sama tentunya dirasakan oleh penyandang disabilitas. Bagi mereka dengan gangguan wicara dan pendengaran, serta yang mengalami gangguan penglihatan, membutuhkan media informasi serta cara berkomunikasi yang berbeda. Hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi hambatan ini diantaranya adalah: a. Ketersediaan informasi pada ruang publik, seperti pengumuman antrian dan sebagainya, dikemas dalam bentuk audio dan visual yang mudah dijangkau. b. Informasi cetak sebaiknya tersedia dalam beragam format. Bisa mempergunakan cetak yang diperbesar, cetak braille, maupun versi audio. c. Ketersediaan staf yang menguasai keterampilan serta etiket berinteraksi dengan penyandang disabilitas. d. Adanya penerjemah bahasa isyarat. e. Adanya aturan yang memperbolehkan penggunaan penerjemah. Penerjemah disini adalah penerjemah yang dekat secara psikologis dengan penyandang disabilitas. 5. Hambatan Sumber Daya Berbeda dengan gambaran sebelumnya, hambatan sumber daya ini mungkin tidak terkait langsung dengan interaksi penyandang disabilitas dengan lingkungannya. 63 Meskipun begitu, akumulasi beragam hambatan tersebut akan mengakibatkan penyandang disabilitas berhadapan dengan keterbatasan sumber daya. Sumber daya, secara bebas dapat diartikan sebagai ketersediaan pengetahuan, informasi, keberanian, semangat, dan faktor lain, yang dapat dipergunakan untuk melakukan upaya tertentu. Sumber daya, pada lain sisi juga bisa diartikan sebagai kemampuan ekonomi, baik yang berasal dari individu maupun dukungan dari pihak lainnya. Dalam buku ini, ada 2 (dua) level hambatan yang akan diuraikan, yaitu: a. Hambatan Sumber Daya dari Penyandang Disabilitas Ada hubungan yang erat antara disabilitas dan kemiskinan. Hubungan tersebut itu berasal dari beberapa hal. Sedari awal memang jarang kita temukan adanya kebijakan pada level penyelenggara negara untuk mempermudah akses terhadap berbagai layanan, jaminan, serta informasi dan komunikasi. Hal yang lain, yang juga turut menjadi perhatian serius adalah soal stigma negatif yang diperoleh. Berbagai hambatan tersebut kemudian membuat posisi penyandang disabilitas dekat dengan garis kemiskinan. Sebagai contoh nyata, ternyata penyandang disabilitas tidak menjadi kriteria dalam skema penerima jaminan sosial. Di samping itu, tidak 64 ada klausul yang jelas tentang penyandang disabilitas yang memperoleh pembiayaan bantuan hukum. b. Hambatan pada Tingkat Penyedia Layanan Penyedia layanan untuk lembaga pelayanan publik belum memiliki pengetahuan yang memadai soal penyandang disabilitas. Hal ini kemudian berimbas kepada pelayanan yang diberikan, termasuk aspek teknis yang melingkupinya. Diantara aspek teknis yang dimaksud adalah minimnya anggaran untuk dipergunakan bagi kepentingan penyandang disabilitas. D. Prinsip Berinteraksi Dalam berinteraksi dengan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, terdapat prinsip dan etiket yang mesti dipahami oleh para penegak hukum. Prinsip-prinsip itu meliputi:20 1. Tidak Berasumsi Ketika penyandang disabilitas akan diproses, para penegak hukum tidak boleh berasumsi bahwa penyandang disabilitas tidak akan mampu untuk 20 Prinsip-prinsip interaksi ini merupakan rekomendasi diskusi Pusham UII yang dilangsungkan pada 24-25 September 2014 di Yogyakarta. Sumber lain yang menjadi rujukan adalah Konvensi Hak Penyandang Disabilitas, terjemahan tidak resmi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Disability, dan Etiquette, Interacting with Persons with Disabilities, Circuit Court of Lake Coaunty Nineteenth Judicial Circuit, tanpa tahun. 65 membuktikan kesaksiannya. Penegak hukum mesti berfikir positif dan segera melakukan assessment dengan mendatangkan ahli. Tujuannya untuk melihat hambatan dan kebutuhan penyandang disabilitas. 2. Non Diskriminasi Penegak hukum tidak boleh melakukan pembedaan, eksklusi atau pembatasan apapun atas dasar disabilitas. Hal itu akan berdampak pada penghapusan pengakuan, penikmatan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum. 3. Kesetaraan Penyandang disabilitas harus diakui dan diberlakukan setara di depan hukum. Mereka mesti diakui kapasitasnya sebagai subyek hukum dan diakui kecakapan hukumnya. 4. Hormat D al am hal ini, p ene g ak hukum tid ak boleh bertindak negatif, mempermasalahkan dan menyudutkan penyandang disabilitas karena disabilitasnya. Penegak hukum mesti menerapkan prinsip penghormatan terhadap keunikan-keunikan fisik dan mental yang melekat pada penyandang disabilitas. 66 5. Akamodasi yang Layak Penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum harus dipastikan penyediaan akomodasinya. Bisa berupa modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan. Tidak boleh memberikan beban berlebihan saat menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Penyediaan akomodasi yang layak ini bersifat individual, spesifik dan membutuhkan pertimbangan seorang ahli yang memahami persoalan penyandang disabilitas. 6. Aksesibilitas Penegak hukum harus memastikan penyediaan pelayanan. Sarana prasarana dipersiapkan untuk memudahkan penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum. Ini dilakukan agar terwujud kesamaan kesempatan dan kesetaraan di depan hukum. Penyediaan layanan dan sarana prasarana tersebut tidak sebatas sesuatu yang menempel di gedung, tetapi juga melekat pada seluruh aspek layanan. Misalnya, pelayanan petugas penerima tamu, petunjuk ruang sidang, papan informasi audio visual, penjurubahasaan bahasa isyarat dan beberapa kebutuhan aksesibilitas lainnya. 7. Desain Universal Penegak hukum mesti mendorong perwujudan rancangan produk, lingkungan, program dan pelayanan yang dapat digunakan oleh semua orang. 67 Sedapat mungkin tidak membutuhkan adaptasi atau rancangan khusus. Semua produk layanan, lingkungan dan program yang menjadi ruang lingkup penegakan hukum mesti dapat diakses dan dipahami oleh semua orang, termasuk didalamnya adalah penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum. 8. Inklusif Penegak hukum mesti mewujudkan sebuah pendekatan yang mengakui keunikan individu dan keragaman masyarakat. Upaya yang bisa dilakukan adalah dengan meniadakan hambatan-hambatan, agar semua orang yang berhadapan dengan hukum, dengan perbedaannya masing-masing, dapat berpartisipasi penuh dalam interaksinya di dunia peradilan. E. Etiket Berinteraksi Etiket berinteraksi secara umum berlaku bagi semua penyandang disabilitas antara lain :21 1. Sapa dan bicaralah dengan penyandang disabilitas secara langsung dengan kontak mata. Hindarkan untuk berbicara satu arah melalui orang lain di dekatnya, baik itu melalui penerjemah dan atau pendamping. Etiket interaksi dengan penyandang disabilitas dia